Kondisi Jumlah RDTR yang masih sangat minim sebagai satu-satunya dasar perizinan investasi, ditambah minimnya jumlah dan distribusi planner yang tersertifikasi mengharuskan penyusunan RDTR secara semiotomatis menggunakan komputer, yang disebut sebagai Aplikasi RDTR Builder. Algoritma penyusunan RDTR harus disusun secara sistemik, sistematik, dan terukur yang digambarkan oleh 4 (empat) buah flowchart yang meliputi Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang; Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan; Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX); dan Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan. Dengan adanya otomatisasi, setiap ide peserta rapat bisa disimulasikan. Planner tidak sibuk habiskan waktu menghitung dan bahkan terhindar dari resiko salah hitung. Otomatisasi ini mengangkat planner dan kelembagaan penata ruang daerah ke level yang lebih tinggi.
Di dalam setiap perusahaan, eksistensi manual atau standard operating procedure (SoP) teknis adalah tulang punggung produktivitas/kinerja organisasi. Dalam industri manufaktur, mesin analog raksasa dirancang sesuai SOP teknis mengerjakan hampir semua proses pembuatan dan perakitan semua komponen produk. Di era awal komputasi, robot kecil yang lebih cepat dan efisien yang diprogram dengan perangkat lunak komputer mulai mengambil alih mesin-mesin analog raksasa yang mahal perawatannya. Di era Teknologi Informasi saat ini, gabungan basis data real time, input sensor aktif, dan pemrograman berbasis internet membentuk artificial intelligent dan machine learning, memungkinkan robot beradaptasi mandiri menjadi semakin cerdas.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik dan arahan Presiden
Republik Indonesia, Joko Widodo menegaskan bahwa Rencana Detail Tata Ruang
(RDTR) adalah satu-satunya Dasar Perizinan Berusaha dan Investasi. Permasalahan
yang kita hadapi saat ini adalah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) belum tersedia di
setiap kabupaten/kota dan jikapun ada, keberadaannya belum mengcover area
wilayah administrasi kabupaten/kota secara utuh. Pemerintah daerah
memprioritaskan ibukota kabupaten atau bagian wilayah kotanya dibanding kawasan
strategis ekonomi dan kawasan industri yang letaknya di luar ibukota. Hal ini
tentunya tidak salah, namun kebutuhan perizinan investasi tidak senada dengan
ketersediaan Peraturan Daerah (perda) tentang RDTR. Jumlah RDTR yang sedikit
juga diakibatkan oleh jumlah dan distribusi perencana (planner) yang masih minim dan tidak merata. Selain itu, Pemerintah
Pusat selama 2011 - 2015 fokus pada penyelesaian perda rencana tata ruang
wilayah (RTRW) yang saat ini, tahun 2020 sebesar 99% sudah mengcover seluruh
wilayah administrasi provinsi/kabupaten/kota se Indonesia.
Penyusunan RDTR saat ini mau tidak mau harus diproduksi secara massal secara semiotomatis menggunakan pemrograman komputer. Algoritma penyusunan RDTR harus disusun secara sistemik, sistematik, dan terukur yang digambarkan oleh 4 (empat buah flowchart yang meliputi Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang; Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan; Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX); dan Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan
1. Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang
a. Indikator Pengembangan Perkotaan
Analisa Kebijakan, Isu, dan Ekonomi dengan data rencana tata ruang wilayah (skala 1:50.000) menghasilkan parameter pengembangan BWP. Penggunaan Lahan skala 1:25.000 selama 5 tahun dan parameter diolah menggunakan System Dynamic dan Spatial Dynamic menghasilkan Indikator Pengembangan dan Skenario Penggunaan Lahan Kawasan Perkotaan tahun ke-20 di skala 25.000.
b. Delineasi BWP
Delineasi BWP mengklip kawasan perkotaan yang luasnya puluhan ribu hektar ke dalam BWP-BWP yang masing-masing luasnya 2.500 - 3.000 Ha. Kemudian dihitung BWP mana yang paling prioritas untuk diRDTRkan di skala 1:5000. Kemudian citra satelit resolusi tinggi (CSRT) dan Digital Elevation Model (DEM) yang mengcover delineasi tersebut diadakan.
c. Daya Dukung – Daya Tampung
Analisa Daya Dukung dan Daya Tampung dengan data fisik, geologi, jenis tanah, hidrologi, dan kebencanaan menghasilkan Kemampuan Lahan dalam kelas-kelas. Selanjutnya dihitung berapa penduduk maksimal yang aman menghuni atau beraktivitas pada masing-masing kelas tersebut atau disebut dengan Arahan Distribusi Penduduk. Arahan distribusi penduduk perkelas atau kelas daya tampung selanjutnya didetailkan lagi pergrid yang luasnya 1 (satu) hektar. Untuk kepentingan peraturan zonasi, survey lapangan mendetailkannya lagi hingga per 400 m2 (empat ratus meter persegi) atau dapat mencapai 100 m2 (100 meter persegi). Konsep perpetakan untuk membentuk blok-blok beserta arahan jumlah penduduknya adalah produk akhir dari tahapan ini.
d. Struktur Internal BWP
Sebaran pusat-pusat pelayanan dihitung jumlahnya. Sejumlah n pusat pelayanan tersebut kemudian dirangking hierarkinya, mana yang menjadi pusat lingkungan (PL), sebagai hierarki tererendah; mana yang menjadi sub pusat pelayanan kota (SPPK), sebagai hierarki menengah; dan pusat pelayanan kota (PPK) sebagai hierarki tertinggi. PPK dan SPPK adalah pusat utama yang melayani BWP dan Sub BWP.
Sistem menempatkan:
1) rencana PL sedekat mungkin dengan centroid setiap blok;
2) rencana SPPK sedekat mungkin dengan centroid Sub BWP; dan
3) rencana PPK sedekat mungkin dengan centroid BWP.
Konsep Struktur Internal BWP dihasilkan dengan melakukan iterasi sejumlah Titik Pusat Utama Kota hingga jenuh mencapai Arahan Distribusi Penduduk.
e. Jaringan Pergerakan dan Estetika Kota
Jaringan Pergerakan menghubungkan otomatis titik pusat utama dan pusat lainnya yang lebar jalannya mengikuti hierarki pusat-pusat yang dihubungkannya, menggunakan jalur yang efisien dan motif urban pattern yang estetis, khususnya jalan yang melingkari pusat-pusat utama.
Hiararki jalan dengan lebar jalan masing-masing mengikuti hierarki pusat-pusatnya sebagai berikut:
1) Jalan Arteri Sekunder, menghubungkan PPK ke SPPK dengan lebar jalan minimal 11 m (sebelas meter);
2) Jalan Kolektor Sekunder, menghubungkan antar SPPK dengan lebar jalan minimal 9 m (sembilan meter);
3) Jalan Lokal Sekunder, menghubungkan SPPK ke PL dengan lebar jalan minimal 7,5 m (tujuh koma lima meter);
4) Jalan Lingkungan Sekunder, menghubungkan antar PL dengan lebar jalan minimal 6,5 m (enam koma lima meter).
f. Kebutuhan Ruang
Kebutuhan ruang menghitung dan menempatkan sarana pelayanan umum (SPU), perdagangan jasa, dan ruang terbuka sesuai dengan hierarki pusat pelayanan dan jumlah penduduk dengan standar luas dan jarak/radius pelayanan masing-masing.
g. Finalisasi Muatan Rencana
Warna-warni rencana pola ruangpun tercipta dengan menggabungkan penggunaan lahan di skala 25.000 dengan arahan kebutuhan ruang 1:5.000 yang merupakan "daging" dari "cangkang" jaringan pergerakan/jalan yang telah dibentuk pada langkah f).
Gambar 1: Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang
2. Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan
a. Sub BWP Prioritas
Menggunakan Sigma Rumus Gravitasi pada masing-masing Pusat Utama dengan data fisik Pendapatan Perkapita dibagi jarak kuadrat, dirangking Pusat-Pusat Utama mana yang tertinggi. Pusat-Pusat tersebut kemudian didelineasi seproporsional mungkin berdasarkan batas fisik: jalan, sungai, jaringan/saluran baik eksisting maupun rencana. Dihasilkan pembagian Sub BWP. Sub BWP pada Pusat Utama yang punya rangking tertinggi adalah Sub BWP Prioritas.
b. Indikasi Program Lima Tahunan
Selisih Rencana Struktur Ruang dengan Rencana Struktur Eksisting adalah Delta Struktur. Selisih Rencana Pola Ruang dengan Penggunaan Lahan Eksisting adalah Delta Pola. Delta Struktur dan Delta Pola tersebut kemudian dibreakdown ke dalam 4 (empat) peta berdasarkan batasan fisik, menjadi peta pembangunan jangka menengah lima tahunan (PJM) I - IV. Dimulai pengunaan lahan eksisting membentuk Sub BWP Prioritas pada PJM I hingga Rencana Pola Ruang pada PJM IV. kemudian delta tersebut yang sudah dibreakdown 4 PJM dikalikan dengan harga satuan seperti panjang ruas jalan, pembangunan sarana pelayanan umum (SPU), pembangunan ruang terbuka, infrastruktur dan utilitas beserta pengadaan tanahnya. Itulah Pengembangan Program Lima Tahunan.
Gambar 2: Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan
3. Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX)
a. Baris Kegiatan
Membandingkan data Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dengan Daftar Perizinan Kegiatan Berusaha di Daerah diperoleh Daftar Kegiatan daerah dalam format KBLI.
b. Kolom Zona
1) Data hasil survey di setiap blok meliputi pengunaan lahan, intensitas ruang dan tata bangunan disandingkan dengan klasifikasi zona/subzona yang dihasilkan dari konsep RDTR untuk melihat apakah ada simpangan penggunaan lahan terhadap konsep rencana pola ruang RDTR. Jika ada simpangan, maka cek lagi apakah terdapat pelanggaran pemanfaatan ruang (potensi pemutihan), dengan melihat data perizinan eksisting. Jika ada pelanggaran, maka kegiatan ditertibkan.
2) Jika tidak ada pelanggaran, maka cek lagi apakah kegiatan tersebut memiliki keragaman kegiatan yang memerlukan pengaturan atau apakah memiliki dampak dan tingkat gangguan yang signifikan. Jika tidak, maka dimasukkan ke dalam daftar kegiatan (baris matriks ITBX).
3) Jika ya, maka cek lagi apakah dapat diatasi dengan teknik pengaturan zonasi. Jika ya, maka masukkan ke daftar kegiatan, zona/subzona RDTR tidak diganti, dan lanjut ke jenis TPZ mana yang sesuai.
4) Jika tidak, maka Kegiatan dijadikan zona/subzona, sehingga konsep zona/subzona RDTR diganti dan masuk ke dalam daftar zona/subzona (Kolom Matriks ITBX).
c. Matriks ITBX
1) Ambil kriteria performa zona/subzona dari pedoman penyusunan RDTR, kemudian sesuaikan dengan kriteria lokal minimal setempat. Lengkapi dengan definisi (kompatibilitas zona/subzona) dan kajian dampak kegiatan dengan diberlakukannya suatu zona/subzona.
2) Tepis semua daftar kegiatan satu persatu terhadap masing-masing zona/subzona dengan perlakuan sebagai berikut:
a) Cek apakah Kegiatan sesuai dengan Definisi dan tidak Mengganggu Kriteria Lokal Minimal?. Jika Ya, maka Kegiatan Diizinkan (I);
b) Jika tidak (mengganggu), maka cek apakah Gangguan bisa diantisipasi dengan Pembatasan Luas, Jumlah (unit); waktu operasi; dan frekuensi. Jika Ya, maka Kegiatan bersyarat secara Terbatas (T);
c) Jika tidak bisa dibatasi, maka cek apakah Gangguan bisa diantisipasi dengan Pemberlakuan Syarat Tambahan/Khusus, seperti syarat konstruksi khusus; syarat anti Kebisingan; Pengolahan Sampah dan Limbah Khusus; dan Jalur Khusus dan Parkir Khusus untuk hindari bangkitan lalu lintas; dan lain-lain. Jika Ya, maka Kegiatan Bersyarat tertentu (B);
d) Jika gangguan tidak bisa diantisipasi dengan syarat-syarat tambahan/khusus, maka Kegiatan tersebut Dilarang ada (X) pada zona/subzona tersebut.
Gambar 3 Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX)
4. Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan
a. Penentuan Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
1) Cari data luas zona/subzona; intensitas infiltrasi (I); Tingkat Infiltrasi (Iinf); Koefisien Infiltrasi; Koefisien Penyimpanan Air (S).
2) Hitung KDB menggunakan persamaan sebagaimana ditunjukkan pada bagan
b. Penentuan Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
1) Hitung tinggi bangunan maksimum dengan variabel Demand ruang; Tangkapan pandang (viewshed); Jenis Bencana; Paparan Cahaya Matahari; Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP); Angin; Standar Jarak Bangunan; Keselamatan dari Kebakaran; dan Perbandingan Biaya Konstruksi vs Pengadaan Lahan.
2) Jumlah Lantai Maksimum = Tinggi Bangunan Maksimum / tinggi 1 lantai.
3) KLB = Jumlah Lantai Maksimum / 100 x KDB.
c. Penentuan Garis Sempadan Bangunan (GSB)
GSB depan (jarak dari pagar ke bangunan) untuk Jalan Arteri = 8 meter; Jalan Kolektor = 7 meter; Jalan Lokal 3,25 m; dan Jalan Lingkungan = 2,25 m.
d. Koreksi Data Lapangan dan Perizinan
Koreksi rumusan intensitas pemanfaatan ruang dan tata bangunan dengan data eksting bangunan dan keabsahan perizinan, seleksi sesuai dengan langkah Flowchart III, dan produk akhirnya adalah satu zona satu ketentuan intensitas dan satu ketentuan tata bangunan (zone based). Jika zone based tidak dimungkinkan untuk ketentuan bangunan, maka ketentuan bangunan dapat diterapkan satu blok satu aturan (block based).
Gambar 4 Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan
Produksi RDTR masih belum mungkin dan tidak boleh seluruhnya otomatis, mengingat ketersediaan data, peran aktif masyarakat, dan kepiawaian planner yang berfungsi sebagai dirijen dari orkestra. Otomatisasi tidak akan membunuh profesi planner dan kelembagaan justru menguatkan. Dengan adanya otomatisasi, setiap ide peserta rapat bisa disimulasikan. Planner tidak sibuk habiskan waktu menghitung dan bahkan terhindar dari resiko salah hitung. Otomatisasi ini mengangkat planner dan kelembagaan penata ruang daerah ke level yang lebih tinggi, yakni menemukan konsep ruang yang paling sesuai dengan filosofi, visi, misi, dan cita-cita luhur daerah dan meminimalisir terjadinya kegagalan perencanaan.
Hari ini, RDTR builder yang statis tidaklah cukup, karena belum menyatu dengan sistem pemanfaatan ruang real time di lapangan yang sangat dinamis yang berpotensi mengoreksi RDTR. Di tengah Era Big Data dan Artificial Intelligent dan tuntutan Rezim Percepatan Investasi, maka setiap titik di muka bumi, bisa disimulasikan dampaknya dengan hitungan otomatis jenis bangunan vs jenis tanah/batuan dan air tanah. Dalam tahap perencanaan tata ruang, tentunya sangat bermanfaat dan pada tahap perizinan, tentunya akan mengoreksi Ketentuan ITBX. Adapun kelemahan Ketentuan ITBX dan Intensitas Pemanfaatan Ruang yang statis adalah: 1). Ketentuan I nya tidak mampu menghitung akumulasi izin di suatu kawasan. Ketika kawasan sudah jenuh, maka sudah bukan ‘I’ lagi tapi sudah ‘T’, ‘B’, atau malah ‘X’. Begitu juga dengan Ketentuan ‘T’ dan ‘B’, ada suatu saat akan berubah; dan 2). Tidak Semua Hal bisa Dikonstantakan dengan KDB, KLB, GSB, tinggi Bangunan. Misal KKOP, tidak bisa kita batasi dengan konstanta tinggi bangunan, karena rumusnya dipengaruhi tinggi permukaan tanah di tempat yang dimohon izin dengan tinggi peil bandara. Jadi input yang dikehendaki adalah koordinat x, y, h (tinggi terrain dan bangunan). Jadi yang diatur dalam OSS harusnya bukan konstanta tinggi bangunan maksimal, tapi Persamaan (rumus) KKOP. Hal-hal semacam ini mudah dijawab oleh Big Data dan AI sebentar lagi (yperdana, 15 Mei 2020).