Monday, May 25, 2020

ALGORITMA RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) BUILDER


Kondisi Jumlah RDTR yang masih sangat minim sebagai satu-satunya dasar perizinan investasi, ditambah minimnya jumlah dan distribusi planner yang tersertifikasi mengharuskan penyusunan RDTR secara semiotomatis menggunakan komputer, yang disebut sebagai Aplikasi RDTR Builder. Algoritma penyusunan RDTR harus disusun secara sistemik, sistematik, dan terukur yang digambarkan oleh 4 (empat) buah flowchart yang meliputi Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang; Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan; Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX); dan Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan. Dengan adanya otomatisasi, setiap ide peserta rapat bisa disimulasikan. Planner tidak sibuk habiskan waktu menghitung dan bahkan terhindar dari resiko salah hitung. Otomatisasi ini mengangkat planner dan kelembagaan penata ruang daerah ke level yang lebih tinggi.

 

Di dalam setiap perusahaan, eksistensi manual atau standard operating procedure (SoP) teknis adalah tulang punggung produktivitas/kinerja organisasi. Dalam industri manufaktur, mesin analog raksasa dirancang sesuai SOP teknis mengerjakan hampir semua proses pembuatan dan perakitan semua komponen produk. Di era awal komputasi, robot kecil yang lebih cepat dan efisien yang diprogram dengan perangkat lunak komputer  mulai mengambil alih mesin-mesin analog raksasa yang mahal perawatannya. Di era Teknologi Informasi saat ini, gabungan basis data real time, input sensor aktif, dan pemrograman berbasis internet membentuk artificial intelligent dan machine learning, memungkinkan robot beradaptasi mandiri menjadi semakin cerdas.

 

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik dan arahan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menegaskan bahwa Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah satu-satunya Dasar Perizinan Berusaha dan Investasi. Permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah Rencana  Detail Tata Ruang (RDTR) belum tersedia di setiap kabupaten/kota dan jikapun ada, keberadaannya belum mengcover area wilayah administrasi kabupaten/kota secara utuh. Pemerintah daerah memprioritaskan ibukota kabupaten atau bagian wilayah kotanya dibanding kawasan strategis ekonomi dan kawasan industri yang letaknya di luar ibukota. Hal ini tentunya tidak salah, namun kebutuhan perizinan investasi tidak senada dengan ketersediaan Peraturan Daerah (perda) tentang RDTR. Jumlah RDTR yang sedikit juga diakibatkan oleh jumlah dan distribusi perencana (planner) yang masih minim dan tidak merata. Selain itu, Pemerintah Pusat selama 2011 - 2015 fokus pada penyelesaian perda rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang saat ini, tahun 2020 sebesar 99% sudah mengcover seluruh wilayah administrasi provinsi/kabupaten/kota se Indonesia.


Penyusunan RDTR saat ini mau tidak mau harus diproduksi secara massal secara semiotomatis menggunakan pemrograman komputer. Algoritma penyusunan RDTR harus disusun secara sistemik, sistematik, dan terukur yang digambarkan oleh 4 (empat buah flowchart yang meliputi Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang; Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan; Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX); dan Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan


1.       Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang

 

a.    Indikator Pengembangan Perkotaan

Analisa Kebijakan, Isu, dan Ekonomi dengan data rencana tata ruang wilayah (skala 1:50.000) menghasilkan parameter pengembangan BWP. Penggunaan Lahan skala 1:25.000 selama 5 tahun dan parameter diolah menggunakan System Dynamic dan Spatial Dynamic menghasilkan Indikator Pengembangan dan Skenario Penggunaan Lahan Kawasan Perkotaan tahun ke-20 di skala 25.000.

 

b.    Delineasi BWP

Delineasi BWP mengklip kawasan perkotaan yang luasnya puluhan ribu hektar ke dalam BWP-BWP yang masing-masing luasnya 2.500 - 3.000 Ha. Kemudian dihitung BWP mana yang paling prioritas untuk diRDTRkan di skala 1:5000. Kemudian citra satelit resolusi tinggi (CSRT) dan Digital Elevation Model (DEM) yang mengcover delineasi tersebut diadakan.

 

c.     Daya Dukung – Daya Tampung

Analisa Daya Dukung dan Daya Tampung dengan data fisik, geologi, jenis tanah, hidrologi, dan kebencanaan menghasilkan Kemampuan Lahan dalam kelas-kelas. Selanjutnya dihitung berapa penduduk maksimal yang aman menghuni atau beraktivitas pada masing-masing kelas tersebut atau disebut dengan Arahan Distribusi Penduduk. Arahan distribusi penduduk perkelas atau kelas daya tampung selanjutnya didetailkan lagi pergrid yang luasnya 1 (satu) hektar. Untuk kepentingan peraturan zonasi, survey lapangan mendetailkannya lagi hingga per 400 m2 (empat ratus meter persegi) atau dapat mencapai 100 m2 (100 meter persegi). Konsep perpetakan untuk membentuk blok-blok beserta arahan jumlah penduduknya adalah produk akhir dari tahapan ini.

 

d.    Struktur Internal BWP

Sebaran pusat-pusat pelayanan dihitung jumlahnya. Sejumlah n pusat pelayanan tersebut kemudian dirangking hierarkinya, mana yang menjadi pusat lingkungan (PL), sebagai hierarki tererendah; mana yang menjadi sub pusat pelayanan kota (SPPK), sebagai hierarki menengah; dan pusat pelayanan kota (PPK) sebagai hierarki tertinggi. PPK dan SPPK adalah pusat utama yang melayani BWP dan Sub BWP.

Sistem menempatkan:

1)    rencana PL sedekat mungkin dengan centroid setiap blok;

2)    rencana SPPK sedekat mungkin dengan centroid Sub BWP; dan

3)    rencana PPK sedekat mungkin dengan centroid BWP.

Konsep Struktur Internal BWP dihasilkan dengan melakukan iterasi sejumlah Titik Pusat Utama Kota hingga jenuh mencapai Arahan Distribusi Penduduk.

 

e.    Jaringan Pergerakan dan Estetika Kota

Jaringan Pergerakan menghubungkan otomatis titik pusat utama dan pusat lainnya yang lebar jalannya mengikuti hierarki pusat-pusat yang dihubungkannya, menggunakan jalur yang efisien dan motif urban pattern yang estetis, khususnya jalan yang melingkari pusat-pusat utama.

Hiararki jalan dengan lebar jalan masing-masing mengikuti hierarki pusat-pusatnya sebagai berikut:

1)    Jalan Arteri Sekunder, menghubungkan PPK ke SPPK dengan lebar jalan minimal 11 m (sebelas meter);

2)    Jalan Kolektor Sekunder, menghubungkan antar SPPK dengan lebar jalan minimal 9 m (sembilan meter);

3)    Jalan Lokal Sekunder, menghubungkan SPPK ke PL dengan lebar jalan minimal 7,5 m (tujuh koma lima meter);

4)    Jalan Lingkungan Sekunder, menghubungkan  antar PL dengan lebar jalan minimal 6,5 m (enam koma lima meter).

 

f.      Kebutuhan Ruang

Kebutuhan ruang menghitung dan menempatkan sarana pelayanan umum (SPU), perdagangan jasa, dan ruang terbuka sesuai dengan hierarki pusat pelayanan dan jumlah penduduk dengan standar luas dan jarak/radius pelayanan masing-masing.

 

g.    Finalisasi Muatan Rencana

Warna-warni rencana pola ruangpun tercipta dengan menggabungkan penggunaan lahan di skala 25.000 dengan arahan kebutuhan ruang 1:5.000 yang merupakan "daging" dari "cangkang" jaringan pergerakan/jalan yang telah dibentuk pada langkah f).


 

Gambar 1: Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang

 

2.       Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan

a.    Sub BWP Prioritas

Menggunakan Sigma Rumus Gravitasi pada masing-masing Pusat Utama dengan data fisik Pendapatan Perkapita dibagi jarak kuadrat, dirangking Pusat-Pusat Utama mana yang tertinggi. Pusat-Pusat tersebut kemudian didelineasi seproporsional mungkin berdasarkan batas fisik: jalan, sungai, jaringan/saluran baik eksisting maupun rencana. Dihasilkan pembagian Sub BWP. Sub BWP pada Pusat Utama yang punya rangking tertinggi adalah Sub BWP Prioritas.

b.    Indikasi Program Lima Tahunan

Selisih Rencana Struktur Ruang dengan Rencana Struktur Eksisting adalah Delta Struktur. Selisih Rencana Pola Ruang dengan Penggunaan Lahan Eksisting adalah Delta Pola. Delta Struktur dan Delta Pola tersebut kemudian dibreakdown ke dalam 4 (empat) peta berdasarkan batasan fisik, menjadi peta pembangunan jangka menengah lima tahunan (PJM) I - IV. Dimulai pengunaan lahan eksisting membentuk Sub BWP Prioritas pada PJM I hingga Rencana Pola Ruang pada PJM IV. kemudian delta tersebut yang sudah dibreakdown 4 PJM dikalikan dengan harga satuan seperti panjang ruas jalan, pembangunan sarana pelayanan umum (SPU), pembangunan ruang terbuka, infrastruktur dan utilitas beserta pengadaan tanahnya. Itulah Pengembangan Program Lima Tahunan.


Gambar 2: Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan

 

3.       Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX)

a.    Baris Kegiatan

Membandingkan data Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dengan Daftar Perizinan Kegiatan Berusaha di Daerah diperoleh Daftar Kegiatan daerah dalam format KBLI.

 

b.    Kolom Zona

1)       Data hasil survey di setiap blok meliputi pengunaan lahan, intensitas ruang dan tata bangunan disandingkan dengan klasifikasi zona/subzona yang dihasilkan dari konsep RDTR untuk melihat apakah ada simpangan penggunaan lahan terhadap konsep rencana pola ruang RDTR. Jika ada simpangan, maka cek lagi apakah terdapat pelanggaran pemanfaatan ruang (potensi pemutihan), dengan melihat data perizinan eksisting. Jika ada pelanggaran, maka kegiatan ditertibkan.

2)       Jika tidak ada pelanggaran, maka cek lagi apakah kegiatan tersebut memiliki keragaman kegiatan yang memerlukan pengaturan atau apakah memiliki dampak dan tingkat gangguan yang signifikan. Jika tidak, maka dimasukkan ke dalam daftar kegiatan (baris matriks ITBX).

3)       Jika ya, maka cek lagi apakah dapat diatasi dengan teknik pengaturan zonasi. Jika ya, maka masukkan ke daftar kegiatan, zona/subzona RDTR tidak diganti, dan lanjut ke jenis TPZ mana yang sesuai.

4)       Jika tidak, maka Kegiatan dijadikan zona/subzona, sehingga konsep zona/subzona RDTR diganti dan masuk ke dalam daftar zona/subzona (Kolom Matriks ITBX).

 

c.    Matriks ITBX

1)       Ambil kriteria performa zona/subzona dari pedoman penyusunan RDTR, kemudian sesuaikan dengan kriteria lokal minimal setempat. Lengkapi dengan definisi (kompatibilitas zona/subzona) dan kajian dampak kegiatan dengan diberlakukannya suatu zona/subzona.

2)       Tepis semua daftar kegiatan satu persatu terhadap masing-masing zona/subzona dengan perlakuan sebagai berikut:

a)          Cek apakah Kegiatan sesuai dengan Definisi dan tidak Mengganggu Kriteria Lokal Minimal?. Jika Ya, maka Kegiatan Diizinkan (I);

b)          Jika tidak (mengganggu), maka cek apakah Gangguan bisa diantisipasi dengan Pembatasan Luas, Jumlah (unit); waktu operasi; dan frekuensi. Jika Ya, maka Kegiatan bersyarat secara Terbatas (T);

c)          Jika tidak bisa dibatasi, maka cek apakah Gangguan bisa diantisipasi dengan Pemberlakuan Syarat Tambahan/Khusus, seperti syarat konstruksi khusus; syarat anti Kebisingan; Pengolahan Sampah dan Limbah Khusus; dan Jalur Khusus dan Parkir Khusus untuk hindari bangkitan lalu lintas; dan lain-lain. Jika Ya, maka Kegiatan Bersyarat tertentu (B);

d)          Jika gangguan tidak bisa diantisipasi dengan syarat-syarat tambahan/khusus, maka Kegiatan tersebut Dilarang ada (X) pada zona/subzona tersebut.


Gambar 3 Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX)


4.       Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan

a.    Penentuan Koefisien Dasar Bangunan (KDB)

1)       Cari data luas zona/subzona; intensitas infiltrasi (I); Tingkat Infiltrasi (Iinf); Koefisien Infiltrasi; Koefisien Penyimpanan Air (S).

2)       Hitung KDB menggunakan persamaan sebagaimana ditunjukkan pada bagan

 

b.    Penentuan Koefisien Lantai Bangunan (KLB)

1)       Hitung tinggi bangunan maksimum dengan variabel Demand ruang; Tangkapan pandang (viewshed); Jenis Bencana; Paparan Cahaya Matahari; Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP); Angin; Standar Jarak Bangunan; Keselamatan dari Kebakaran; dan Perbandingan Biaya Konstruksi vs Pengadaan Lahan.

2)       Jumlah Lantai Maksimum = Tinggi Bangunan Maksimum / tinggi 1 lantai.

3)       KLB = Jumlah Lantai Maksimum / 100 x KDB.

 

c.    Penentuan Garis Sempadan Bangunan (GSB)

GSB depan (jarak dari pagar ke bangunan) untuk Jalan Arteri = 8 meter; Jalan Kolektor = 7 meter; Jalan Lokal 3,25 m; dan Jalan Lingkungan = 2,25 m.

 

d.    Koreksi Data Lapangan dan Perizinan

Koreksi rumusan intensitas pemanfaatan ruang dan tata bangunan dengan data eksting bangunan dan keabsahan perizinan, seleksi sesuai dengan langkah Flowchart III, dan produk akhirnya adalah satu zona satu ketentuan intensitas dan satu ketentuan tata bangunan (zone based). Jika zone based tidak dimungkinkan untuk ketentuan bangunan, maka ketentuan bangunan dapat diterapkan satu blok satu aturan (block based).


Gambar 4 Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan


Produksi RDTR masih belum mungkin dan tidak boleh seluruhnya otomatis, mengingat ketersediaan data, peran aktif masyarakat, dan kepiawaian planner yang berfungsi sebagai dirijen dari orkestra. Otomatisasi tidak akan membunuh profesi planner dan kelembagaan justru menguatkan. Dengan adanya otomatisasi, setiap ide peserta rapat bisa disimulasikan. Planner tidak sibuk habiskan waktu menghitung dan bahkan terhindar dari resiko salah hitung. Otomatisasi ini mengangkat planner dan kelembagaan penata ruang daerah ke level yang lebih tinggi, yakni menemukan konsep ruang yang paling sesuai dengan filosofi, visi, misi, dan cita-cita luhur daerah dan meminimalisir terjadinya kegagalan perencanaan.

          

Hari ini, RDTR builder yang statis tidaklah cukup, karena belum menyatu dengan sistem pemanfaatan ruang real time di lapangan yang sangat dinamis yang berpotensi mengoreksi RDTR. Di tengah Era Big Data dan Artificial Intelligent dan tuntutan Rezim Percepatan Investasi, maka setiap titik di muka bumi, bisa disimulasikan dampaknya dengan hitungan otomatis jenis bangunan vs jenis tanah/batuan dan air tanah. Dalam tahap perencanaan tata ruang, tentunya sangat bermanfaat dan pada tahap perizinan, tentunya akan mengoreksi Ketentuan ITBX.  Adapun kelemahan Ketentuan ITBX dan Intensitas Pemanfaatan Ruang yang statis adalah: 1). Ketentuan I nya tidak mampu menghitung akumulasi izin di suatu kawasan. Ketika kawasan sudah jenuh, maka sudah bukan ‘I’ lagi tapi sudah ‘T’, ‘B’, atau malah ‘X’. Begitu juga dengan Ketentuan ‘T’ dan ‘B’, ada suatu saat akan berubah; dan 2). Tidak Semua Hal bisa Dikonstantakan dengan KDB, KLB, GSB, tinggi Bangunan. Misal KKOP, tidak bisa kita batasi dengan konstanta tinggi bangunan, karena rumusnya dipengaruhi tinggi permukaan tanah di tempat yang dimohon izin dengan tinggi peil bandara. Jadi input yang dikehendaki adalah koordinat x, y, h (tinggi terrain dan bangunan). Jadi yang diatur dalam OSS harusnya bukan konstanta tinggi bangunan maksimal, tapi Persamaan (rumus) KKOP. Hal-hal semacam ini mudah dijawab oleh Big Data dan AI sebentar lagi (yperdana, 15 Mei 2020).

Tuesday, October 1, 2019

RTRW SEBAGAI DASAR PERIZINAN PERCEPATAN INVESTASI MELALUI KUANTIFIKASI DOMINASI FUNGSI RUANG


YUDHA PERDANA, ST.,MT
KEPALA SEKSI BINA PROVINSI DAN KABUPATEN WILAYAH NUSA TENGGARA, MALUKU, DAN PAPUA
SUBDIREKTORAT PEMBINAAN WILAYAH IV
DIREKTORAT PEMBINAAN PERENCANAAN TATA RUANG DAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH

Presiden Jokowi telah mengumumkan bahwa satu-satunya dasar perizinan yang dipakai On Line Single Submission (OSS) dalam rangka perizinan berusaha dan percepatan investasi adalah rencana detail tata ruang (RDTR).
RDTR dianggap sebagai dasar perizinan terampuh, karena 2 (dua) hal:
a.    Zoning Mapnya berada dalam skala 1:5.000
Jika diasumsikan sebuah unsur titik peta setara dengan ukuran 1 mm dalam kertas, maka skala 1:5.000 berarti setiap titik setara dengan 5 meter di lapangan. Objek bangunan yang ukurannya di atas 5 m x 5 m atau 25 m2 harus tergambar sebagai poligon, bukan titik.  Jika ketelitian peta adalah ½ dari ukuran titik, berarti ketelitiannya mencapai ½ x 5 meter = 2,5 meter. Ketelitian seakurat ini sudah bisa menaksir perbedaan yang jauh lebih tinggi daripada sekedar perbedaan warna/fungsi blok peruntukan.

b.    Zoning Textnya, khususnya Matriks ITBX tegas mengeksekusi kegiatan diizinkan dan dilarang.
Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan mengandung informasi baris kegiatan apa saja yang diizinkan (I), diizinkan terbatas (T), diizinkan bersyarat (B), dan dilarang (X) dalam setiap kolom zona/subzona, yang sering disebut Matriks ITBX.
Matriks ITBX bisa mengeksekusi dengan tegas, mana kegiatan yang diizinkan (I), mana yang dilarang (X), dan mana yang harus memenuhi komitmennya, baik bukti komitmen pembatasan unit, luas, intensitas, atau waktu operasi (Terbatas = T); dan bukti pemenuhan komitmen syarat seperti syarat konstruksi khusus tahan gempa dan likuifaksi; AMDAL; ANDALALIN; dan lain-lain.

Dibalik keampuhannya sebagai dasar OSS, berkaca dari pengalaman 53 (lima puluh tiga) RDTR yang sudah perda, terdapat 3 (tiga) kekurangan besar RDTR, meliputi:

a.    Proses Penyusunan dan Legalisasinya memakan waktu rata-rata 3 (Tiga) Tahun
Koreksi peta dasar 1:5.000 dan validasi kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah dua hal yang memakan waktu hampir satu tahun anggaran. Materi teknis RDTR sendiri meliputi rangkaian analisis mulai keterkaitan RTRW; pemilihan delineasi yang compact; potensi, masalah, dan visi perkotaan; daya dukung dan daya tampung; struktur internal; jaringan pergerakan dan moda transportasi; kebutuhan ruang; delta eksisting vs rencana dan rencana pembiayaan pembangunan; dan terakhir peraturan zonasi.

b.    Hampir Semua Perda RDTR hanya Mencakup Pusat kota yang sudah padat investasi
Kecenderungan delineasi RDTR yang ada cenderung memilih pusat kota/perkotaan yang sudah padat, bukan di daerah berkembang apalagi daerah belum terbangun (kosong). Ini ditempuh karena kebutuhan mengurangi kecenderungan kesemrawutan kota, kebutuhan perizinan yang paling mendesak, dan kelengkapan data yang sudah tersedia. Hal ini berbanding terbalik dengan target percepatan investasi yang menyasar kawasan yang belum terbangun atau belum banyak perizinan.

c.    Luas cakupannya rata-rata hanya 2.000 - 3.000 Ha
Perkotaan yang ideal adalah kota/perkotaan yang compact, yakni yang memungkinkan pejalan kaki mengakses seluruh kota dengan berjalan kaki dan naik angkutan massal. Ukuran compact city diyakini berkisar antara 4 km x 5 Km (2.000 Ha) sampai dengan 5 Km x 6 Km (3.000 Ha). Disamping itu kebiasaan satuan penganggaran satu perda RDTR untuk kota menengah dengan luas 25 Km2 (2.500 Ha) adalah Rp2 Milyar. Luasan yang diRDTRkan ini berpotensi menyisakan banyak area di kabupaten/kota yang tidak diRDTRkan, padahal OSS memerlukan setiap jengkal tanah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini diRDTRkan.

Implikasi Surat Edaran Menteri ATR/BPN Nomor 4/SE-PF.01/VII/2019 tanggal 26 Juli 2019 yang ditujukan kepada seluruh gubernur/bupati/walikota untuk memberikan percepatan rekomendasi pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata urang yang berlaku, adalah rencana tata ruang wilayah (RTRW) dipaksa hadir sebagai dasar perizinan investasi di daerah, sambil menunggu penyelesaian RDTR.

Saat ini, Progress Perda RTRW Kabupaten/Kota seIndonesia telah mencapai 94,68% yang terdiri atas Perda RTRW Kabupaten sebanyak 94,45% dan Perda RTRW Kota sebanyak 95,69%. RTRW Kabupaten/Kota ini memenuhi gap RDTR sebagaimana yang telah dipaparkan sebagai Dasar Perizinan dalam OSS dengan syarat memiliki ketentuan umum peraturan zonasi (KUPZ) yang lengkap. Selama KUPZ hanya menjadi jadi lampiran perda RTRW yang sering ditinggalkan karena kualitasnya belum memadai untuk dijadikan dasar perizinan. Kualitas KUPZ RTRW yang baik adalah KUPZ yang mampu menjawab dominasi fungsi. Dominasi fungsi ruang adalah ambang batas yang menyatakan kinerja suatu kawasan belum terganggu atau kriteria lokal minimum suatu kawasan belum terlampaui.

Hasil survey menunjukkan lambatnya perizinan di daerah akibat keragu-raguan dalam membaca aturan, salah satunya Dominasi Fungsi Ruang dalam RTRW yang harus lewat TKPRD dan surat keterangan kesesuaian ruang kota.

Menindaklanjuti surat edaran dimaksud, Bupati dan walikota dapat memecahkan Misteri Dominasi Fungsi Ruang RTRW, dengan membuat perbup/perwal tentang Operasionalisasi KUPZ RTRW yang bentuknya seperti Matriks ITBX, hanya saja tidak ada T, dan B tapi I dan X. Bagian I nya diganti dengan angka persen yang menunjukkan batas luas maksimal poligon-poligon usaha berbanding kawasan di seluruh kota.

 I.      Konsep Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kabupaten
Ambang batas (dominasi) dapat diwakili oleh persen sebagaimana ditunjukkan pada Tabel I Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kabupaten. Tabel berupa Baris Kelompok Aktivitas dan Kolom Kawasan, berturut-turut meliputi Pertambangan (TAM); Industri dan Pergudangan (IP); Perkebunan (KEB); Hutan Lindung/Kota (HUT); Pertanian Tanaman Pangan (TP); Peternakan (TER); Permukiman Perdesaan (PDES); dan Permukiman Perkotaan (PKOT).

TABEL I DOMINASI FUNGSI RUANG RTRW KABUPATEN
No
Kawasan
Kelompok Aktivitas
TAM
IP
KEB
HUT
TP
TER
PDES
PKOT
1
Pertambangan (TAM)
80%
2%
5%
2%
X
X
X
X
2
Industri dan Pergudangan (IP)
20%
70%
5%
X
X
X
X
X
3
Perkebunan (KEB)
X
X
50%
6%
X
10%
5%
X
4
Hutan Lindung/Kota (HUT)
X
20%
20%
90%
X
3%
5%
20%
5
Pertanian Tanaman Pangan (TP)
X
X
10%
X
90%
2%
20%
X
6
Peternakan (TER)
X
5%
5%
X
X
80%
5%
X
7
Permukiman Perdesaan (PDES)
X
X
5%
2%
10%
5%
60%
10%
8
Permukiman Perkotaan (PKOT)
X
3%
X
X
X
X
5%
70%

Total
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%

1.       Kawasan Peruntukan Pertambangan (TAM) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 80% (delapan puluh persen); dan
b.    Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).
         
2.       Kawasan Peruntukan Industri dan Pergudangan (IP) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi maksimal 70% (tujuh puluh persen);
b.    Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen);
c.     Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
d.    Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen); dan
e.    Permukiman Perkotaan (PKOT), dengan akumulasi maksimal 3% (tiga persen)

3.       Kawasan Peruntukan Perkebunan (KEB) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 50% (lima puluh persen);
b.    Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen);
c.     Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen);
d.    Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
e.    Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi maksimal 10% (sepuluh persen);
f.      Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen); dan
g.    Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen).

4.       Kawasan Hutan Lindung/Kota (HUT) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 90% (sembilan puluh persen);
b.    Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen);
c.     Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 6% (enam persen); dan
d.    Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen).

5.       Kawasan Peruntukan Tanaman Pangan (TP) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi maksimal 90% (sembilan puluh persen); dan
b.    Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 10% (sepuluh persen).

6.       Kawasan Peruntukan Peternakan (TER) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 80% (delapan puluh persen);
b.    Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 10% (sepuluh persen);
c.     Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 3% (tiga persen);
d.    Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen); dan
e.    Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen).
                                            
7.       Kawasan Peruntukan Permukiman Perdesaan (PDES) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 60% (enam puluh persen);
b.    Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen);
c.     Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen);
d.    Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
e.    Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen); dan
f.      Permukiman Perkotaan (PKOT), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen).

8.       Kawasan Peruntukan Permukiman Perkotaan (PKOT) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Permukiman Perkotaan (PKOT), dengan akumulasi maksimal 70% (tujuh puluh persen);
b.    Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen); dan
c.     Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 10% (sepuluh persen).
 

Gambar 1 Pendetailan RTRW Kabupaten


II.     Konsep Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kota
Ambang batas (dominasi) dapat diwakili oleh persen sebagaimana ditunjukkan pada Tabel II Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kota. Tabel berupa Baris Kelompok Aktivitas dan Kolom Kawasan, berturut-turut meliputi Industri dan Pergudangan (IP); Perdagangan dan Jasa (PJ); Pendidikan dan Perkantoran (PP); Perumahan Padat (PRP); Perumahan Rendah (PRR); dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
                                                                    
TABEL II DOMINASI FUNGSI RUANG RTRW KOTA
No
Kawasan
Kelompok Aktivitas
IP
PJ
PP
PRP
PRR
RTH
1
Industri dan Pergudangan (IP)
70%
X
X
X
X
X
2
Perdagangan dan Jasa (PJ)
4%
60%
X
X
X
X
3
Pendidikan dan Perkantoran (PP)
3%
10%
70%
X
X
X
4
Perumahan Padat (PRP)
2%
7%
8%
60%
X
X
5
Perumahan Rendah (PRR)
1%
3%
2%
20%
80%
X
6
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
20%
20%
20%
20%
20%
100%

Total
100%
100%
100%
100%
100%
100%

1.       Kawasan Industri Pergudangan (IP) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi maksimal 70% (tujuh puluh persen);
b.    Perdagangan dan Jasa (PJ), dengan akumulasi maksimal 4% (empat persen);
c.     Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi maksimal 3% (tiga persen);
d.    Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen);
e.    Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 1% (satu persen); dan
f.      Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).

2.       Kawasan Perdagangan dan Jasa (PJ) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Perdagangan dan Jasa (PJ), dengan akumulasi maksimal 60% (enam puluh persen);
b.    Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi maksimal 10% (sepuluh persen);
c.     Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 7% (tujuh persen);
d.    Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 3% (tiga persen); dan
e.    Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).

3.       Pendidikan dan Perkantoran (PP) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi maksimal 70% (tujuh puluh persen);
b.    Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 8% (delapan persen);
c.     Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen); dan
d.    Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).

4.       Perumahan Padat (PRP), di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 60% (enam puluh persen);
b.    Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen); dan
c.     Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).

5.       Perumahan Rendah (PRR), di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 80% (delapan puluh persen); dan
b.    Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).

6.       Perumahan Rendah (PRR), di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi tak terbatas, atau 100% (seratus persen).
b.    Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
c.     Perdagangan dan Jasa (PJ), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
d.    Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
e.    Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen); dan
f.      Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen)
Gambar 2 Pendetailan RTRW Kota

III.   Kesimpulan dan Tindak Lanjut
1.  Konsep Peraturan Bupati/Walikota tentang Opersionalisasi KUPZ RTRW Kabupaten/Kota yang Lampirannya berbentuk Tabel I dan II menjawab 3 (tiga) kelemahan Perda RDTR:
a.    Kecepatan legalisasi yang jauh lebih tinggi;
b.  Mengcover kawasan terbangun yang padat investasi dan kawasan yang belum terbangun yang merupakan potensi investasi baru; dan
c.     Menjangkau seluruh jengkal tanah wilayah administrasi kabupaten/kota
2.       Persentase di dalam sel Tabel I dan II berarti dua hal:
a.    Rasio Intensitas Pemanfaatan Ruang maksimal yang diperbolehkan dalam persil yang dikuasai; dan
b.  Akumulasi Jenis Kegiatan Tertentu berbanding Seluruh Akumulasi Kegiatan di dalam kawasan tertentu (Kuota Maksimal Kegiatan).
3.       Tabel I dan II perlu penyesuaian lebih lanjut oleh pemerintah kabupaten/kota, sebagai berikut:
a.    Kolom Kawasan disesuaikan dengan RTRW Kabupaten/Kota;
b.    Baris Kegiatan agar dirinci kembali sesuai dengan kebutuhan perizinan; dan
c.  Angka persentase disesuaikan kembali memperhatikan kriteria lokal minimal masing-masing kawasan di daerah.

 

 
Riwayat Hidup
1.       Lahir di Semarang, 15 Juni 1982
2.       SDN Kebondalem 3 Pemalang, Jawa Tengah 1988-1991
3.       SDN Sukarela 3 Bandung 1991-1993
4.       SDN No.3 Sigli, Aceh 1993-1994
5.       SMPN No.1 Sigli, Aceh 1994-1995
6.       SMPN No.3 Banda Aceh 1995-1997
7.       SMUN 3 Banda Aceh 1997-1999
8.       SMUN 3 Bandar Lampung 1999 - 2000
9.       Teknik Elektro, Universitas Lampung  2000-2001 (tidak selesai)
10.    S1 Teknik Geodesi, Institut Teknologi Bandung, 2001-2006
11.    Assosiate Researcher of Center for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung, 2006-2007.
12.    S2 Teknologi Manajemen Lingkungan, Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, 2007-2010.
          13.  CPNS Kementerian Pekerjaan Umum Dese mber 2009
14.    Staf Direktorat Penataan Ruang Wilayah IV, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum 2009 – 2010.
15.    Staf Direktorat Pembinaan Penataan Ruang Daerah Wilayah II, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum 2011 - 2014.
16.    Jabatan Fungsional Penata Ruang Muda pada 2011 - 2017.
17.    Staf Direktorat Pembinaan Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan  Ruang Daerah, Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 2015 – 2017.
18.    Ketua Tim Teknis Integrasi Proyek Strategis Nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi pada 2015 - 2016
19.    Kepala Seksi Bina Provinsi dan Kabupaten Wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, Direktorat Pembinaan Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan  Ruang Daerah, 21 Juni 2017 s/d sekarang.
20.    Ketua Panitia Coffee Morning Direktorat Jenderal Tata Ruang 5 September 2018.
21.    Aktif sebagai Penulis Modul Tata Ruang pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian ATR/BPN
22.    Aktif sebagai Anggota Tim Advisory Direktorat Jenderal Tata Ruang.
23.    Aktif sebagai Anggota Buletin Tata Ruang.
24.    Aktif sebagai Anggota Tim Data dan Informasi Ditjen Tata Ruang.
25.    Aktif sebagai Anggota Studio Peta Ditjen Tata Ruang.