Tuesday, October 1, 2019

RTRW SEBAGAI DASAR PERIZINAN PERCEPATAN INVESTASI MELALUI KUANTIFIKASI DOMINASI FUNGSI RUANG


YUDHA PERDANA, ST.,MT
KEPALA SEKSI BINA PROVINSI DAN KABUPATEN WILAYAH NUSA TENGGARA, MALUKU, DAN PAPUA
SUBDIREKTORAT PEMBINAAN WILAYAH IV
DIREKTORAT PEMBINAAN PERENCANAAN TATA RUANG DAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH

Presiden Jokowi telah mengumumkan bahwa satu-satunya dasar perizinan yang dipakai On Line Single Submission (OSS) dalam rangka perizinan berusaha dan percepatan investasi adalah rencana detail tata ruang (RDTR).
RDTR dianggap sebagai dasar perizinan terampuh, karena 2 (dua) hal:
a.    Zoning Mapnya berada dalam skala 1:5.000
Jika diasumsikan sebuah unsur titik peta setara dengan ukuran 1 mm dalam kertas, maka skala 1:5.000 berarti setiap titik setara dengan 5 meter di lapangan. Objek bangunan yang ukurannya di atas 5 m x 5 m atau 25 m2 harus tergambar sebagai poligon, bukan titik.  Jika ketelitian peta adalah ½ dari ukuran titik, berarti ketelitiannya mencapai ½ x 5 meter = 2,5 meter. Ketelitian seakurat ini sudah bisa menaksir perbedaan yang jauh lebih tinggi daripada sekedar perbedaan warna/fungsi blok peruntukan.

b.    Zoning Textnya, khususnya Matriks ITBX tegas mengeksekusi kegiatan diizinkan dan dilarang.
Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan mengandung informasi baris kegiatan apa saja yang diizinkan (I), diizinkan terbatas (T), diizinkan bersyarat (B), dan dilarang (X) dalam setiap kolom zona/subzona, yang sering disebut Matriks ITBX.
Matriks ITBX bisa mengeksekusi dengan tegas, mana kegiatan yang diizinkan (I), mana yang dilarang (X), dan mana yang harus memenuhi komitmennya, baik bukti komitmen pembatasan unit, luas, intensitas, atau waktu operasi (Terbatas = T); dan bukti pemenuhan komitmen syarat seperti syarat konstruksi khusus tahan gempa dan likuifaksi; AMDAL; ANDALALIN; dan lain-lain.

Dibalik keampuhannya sebagai dasar OSS, berkaca dari pengalaman 53 (lima puluh tiga) RDTR yang sudah perda, terdapat 3 (tiga) kekurangan besar RDTR, meliputi:

a.    Proses Penyusunan dan Legalisasinya memakan waktu rata-rata 3 (Tiga) Tahun
Koreksi peta dasar 1:5.000 dan validasi kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah dua hal yang memakan waktu hampir satu tahun anggaran. Materi teknis RDTR sendiri meliputi rangkaian analisis mulai keterkaitan RTRW; pemilihan delineasi yang compact; potensi, masalah, dan visi perkotaan; daya dukung dan daya tampung; struktur internal; jaringan pergerakan dan moda transportasi; kebutuhan ruang; delta eksisting vs rencana dan rencana pembiayaan pembangunan; dan terakhir peraturan zonasi.

b.    Hampir Semua Perda RDTR hanya Mencakup Pusat kota yang sudah padat investasi
Kecenderungan delineasi RDTR yang ada cenderung memilih pusat kota/perkotaan yang sudah padat, bukan di daerah berkembang apalagi daerah belum terbangun (kosong). Ini ditempuh karena kebutuhan mengurangi kecenderungan kesemrawutan kota, kebutuhan perizinan yang paling mendesak, dan kelengkapan data yang sudah tersedia. Hal ini berbanding terbalik dengan target percepatan investasi yang menyasar kawasan yang belum terbangun atau belum banyak perizinan.

c.    Luas cakupannya rata-rata hanya 2.000 - 3.000 Ha
Perkotaan yang ideal adalah kota/perkotaan yang compact, yakni yang memungkinkan pejalan kaki mengakses seluruh kota dengan berjalan kaki dan naik angkutan massal. Ukuran compact city diyakini berkisar antara 4 km x 5 Km (2.000 Ha) sampai dengan 5 Km x 6 Km (3.000 Ha). Disamping itu kebiasaan satuan penganggaran satu perda RDTR untuk kota menengah dengan luas 25 Km2 (2.500 Ha) adalah Rp2 Milyar. Luasan yang diRDTRkan ini berpotensi menyisakan banyak area di kabupaten/kota yang tidak diRDTRkan, padahal OSS memerlukan setiap jengkal tanah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini diRDTRkan.

Implikasi Surat Edaran Menteri ATR/BPN Nomor 4/SE-PF.01/VII/2019 tanggal 26 Juli 2019 yang ditujukan kepada seluruh gubernur/bupati/walikota untuk memberikan percepatan rekomendasi pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata urang yang berlaku, adalah rencana tata ruang wilayah (RTRW) dipaksa hadir sebagai dasar perizinan investasi di daerah, sambil menunggu penyelesaian RDTR.

Saat ini, Progress Perda RTRW Kabupaten/Kota seIndonesia telah mencapai 94,68% yang terdiri atas Perda RTRW Kabupaten sebanyak 94,45% dan Perda RTRW Kota sebanyak 95,69%. RTRW Kabupaten/Kota ini memenuhi gap RDTR sebagaimana yang telah dipaparkan sebagai Dasar Perizinan dalam OSS dengan syarat memiliki ketentuan umum peraturan zonasi (KUPZ) yang lengkap. Selama KUPZ hanya menjadi jadi lampiran perda RTRW yang sering ditinggalkan karena kualitasnya belum memadai untuk dijadikan dasar perizinan. Kualitas KUPZ RTRW yang baik adalah KUPZ yang mampu menjawab dominasi fungsi. Dominasi fungsi ruang adalah ambang batas yang menyatakan kinerja suatu kawasan belum terganggu atau kriteria lokal minimum suatu kawasan belum terlampaui.

Hasil survey menunjukkan lambatnya perizinan di daerah akibat keragu-raguan dalam membaca aturan, salah satunya Dominasi Fungsi Ruang dalam RTRW yang harus lewat TKPRD dan surat keterangan kesesuaian ruang kota.

Menindaklanjuti surat edaran dimaksud, Bupati dan walikota dapat memecahkan Misteri Dominasi Fungsi Ruang RTRW, dengan membuat perbup/perwal tentang Operasionalisasi KUPZ RTRW yang bentuknya seperti Matriks ITBX, hanya saja tidak ada T, dan B tapi I dan X. Bagian I nya diganti dengan angka persen yang menunjukkan batas luas maksimal poligon-poligon usaha berbanding kawasan di seluruh kota.

 I.      Konsep Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kabupaten
Ambang batas (dominasi) dapat diwakili oleh persen sebagaimana ditunjukkan pada Tabel I Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kabupaten. Tabel berupa Baris Kelompok Aktivitas dan Kolom Kawasan, berturut-turut meliputi Pertambangan (TAM); Industri dan Pergudangan (IP); Perkebunan (KEB); Hutan Lindung/Kota (HUT); Pertanian Tanaman Pangan (TP); Peternakan (TER); Permukiman Perdesaan (PDES); dan Permukiman Perkotaan (PKOT).

TABEL I DOMINASI FUNGSI RUANG RTRW KABUPATEN
No
Kawasan
Kelompok Aktivitas
TAM
IP
KEB
HUT
TP
TER
PDES
PKOT
1
Pertambangan (TAM)
80%
2%
5%
2%
X
X
X
X
2
Industri dan Pergudangan (IP)
20%
70%
5%
X
X
X
X
X
3
Perkebunan (KEB)
X
X
50%
6%
X
10%
5%
X
4
Hutan Lindung/Kota (HUT)
X
20%
20%
90%
X
3%
5%
20%
5
Pertanian Tanaman Pangan (TP)
X
X
10%
X
90%
2%
20%
X
6
Peternakan (TER)
X
5%
5%
X
X
80%
5%
X
7
Permukiman Perdesaan (PDES)
X
X
5%
2%
10%
5%
60%
10%
8
Permukiman Perkotaan (PKOT)
X
3%
X
X
X
X
5%
70%

Total
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%

1.       Kawasan Peruntukan Pertambangan (TAM) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 80% (delapan puluh persen); dan
b.    Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).
         
2.       Kawasan Peruntukan Industri dan Pergudangan (IP) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi maksimal 70% (tujuh puluh persen);
b.    Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen);
c.     Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
d.    Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen); dan
e.    Permukiman Perkotaan (PKOT), dengan akumulasi maksimal 3% (tiga persen)

3.       Kawasan Peruntukan Perkebunan (KEB) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 50% (lima puluh persen);
b.    Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen);
c.     Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen);
d.    Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
e.    Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi maksimal 10% (sepuluh persen);
f.      Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen); dan
g.    Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen).

4.       Kawasan Hutan Lindung/Kota (HUT) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 90% (sembilan puluh persen);
b.    Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen);
c.     Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 6% (enam persen); dan
d.    Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen).

5.       Kawasan Peruntukan Tanaman Pangan (TP) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi maksimal 90% (sembilan puluh persen); dan
b.    Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 10% (sepuluh persen).

6.       Kawasan Peruntukan Peternakan (TER) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 80% (delapan puluh persen);
b.    Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 10% (sepuluh persen);
c.     Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 3% (tiga persen);
d.    Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen); dan
e.    Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen).
                                            
7.       Kawasan Peruntukan Permukiman Perdesaan (PDES) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 60% (enam puluh persen);
b.    Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen);
c.     Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen);
d.    Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
e.    Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen); dan
f.      Permukiman Perkotaan (PKOT), dengan akumulasi maksimal 5% (lima persen).

8.       Kawasan Peruntukan Permukiman Perkotaan (PKOT) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Permukiman Perkotaan (PKOT), dengan akumulasi maksimal 70% (tujuh puluh persen);
b.    Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen); dan
c.     Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal 10% (sepuluh persen).
 

Gambar 1 Pendetailan RTRW Kabupaten


II.     Konsep Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kota
Ambang batas (dominasi) dapat diwakili oleh persen sebagaimana ditunjukkan pada Tabel II Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kota. Tabel berupa Baris Kelompok Aktivitas dan Kolom Kawasan, berturut-turut meliputi Industri dan Pergudangan (IP); Perdagangan dan Jasa (PJ); Pendidikan dan Perkantoran (PP); Perumahan Padat (PRP); Perumahan Rendah (PRR); dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
                                                                    
TABEL II DOMINASI FUNGSI RUANG RTRW KOTA
No
Kawasan
Kelompok Aktivitas
IP
PJ
PP
PRP
PRR
RTH
1
Industri dan Pergudangan (IP)
70%
X
X
X
X
X
2
Perdagangan dan Jasa (PJ)
4%
60%
X
X
X
X
3
Pendidikan dan Perkantoran (PP)
3%
10%
70%
X
X
X
4
Perumahan Padat (PRP)
2%
7%
8%
60%
X
X
5
Perumahan Rendah (PRR)
1%
3%
2%
20%
80%
X
6
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
20%
20%
20%
20%
20%
100%

Total
100%
100%
100%
100%
100%
100%

1.       Kawasan Industri Pergudangan (IP) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi maksimal 70% (tujuh puluh persen);
b.    Perdagangan dan Jasa (PJ), dengan akumulasi maksimal 4% (empat persen);
c.     Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi maksimal 3% (tiga persen);
d.    Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen);
e.    Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 1% (satu persen); dan
f.      Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).

2.       Kawasan Perdagangan dan Jasa (PJ) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Perdagangan dan Jasa (PJ), dengan akumulasi maksimal 60% (enam puluh persen);
b.    Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi maksimal 10% (sepuluh persen);
c.     Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 7% (tujuh persen);
d.    Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 3% (tiga persen); dan
e.    Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).

3.       Pendidikan dan Perkantoran (PP) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi maksimal 70% (tujuh puluh persen);
b.    Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 8% (delapan persen);
c.     Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 2% (dua persen); dan
d.    Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).

4.       Perumahan Padat (PRP), di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 60% (enam puluh persen);
b.    Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen); dan
c.     Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).

5.       Perumahan Rendah (PRR), di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 80% (delapan puluh persen); dan
b.    Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen).

6.       Perumahan Rendah (PRR), di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a.    Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi tak terbatas, atau 100% (seratus persen).
b.    Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
c.     Perdagangan dan Jasa (PJ), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
d.    Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen);
e.    Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen); dan
f.      Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 20% (dua puluh persen)
Gambar 2 Pendetailan RTRW Kota

III.   Kesimpulan dan Tindak Lanjut
1.  Konsep Peraturan Bupati/Walikota tentang Opersionalisasi KUPZ RTRW Kabupaten/Kota yang Lampirannya berbentuk Tabel I dan II menjawab 3 (tiga) kelemahan Perda RDTR:
a.    Kecepatan legalisasi yang jauh lebih tinggi;
b.  Mengcover kawasan terbangun yang padat investasi dan kawasan yang belum terbangun yang merupakan potensi investasi baru; dan
c.     Menjangkau seluruh jengkal tanah wilayah administrasi kabupaten/kota
2.       Persentase di dalam sel Tabel I dan II berarti dua hal:
a.    Rasio Intensitas Pemanfaatan Ruang maksimal yang diperbolehkan dalam persil yang dikuasai; dan
b.  Akumulasi Jenis Kegiatan Tertentu berbanding Seluruh Akumulasi Kegiatan di dalam kawasan tertentu (Kuota Maksimal Kegiatan).
3.       Tabel I dan II perlu penyesuaian lebih lanjut oleh pemerintah kabupaten/kota, sebagai berikut:
a.    Kolom Kawasan disesuaikan dengan RTRW Kabupaten/Kota;
b.    Baris Kegiatan agar dirinci kembali sesuai dengan kebutuhan perizinan; dan
c.  Angka persentase disesuaikan kembali memperhatikan kriteria lokal minimal masing-masing kawasan di daerah.

 

 
Riwayat Hidup
1.       Lahir di Semarang, 15 Juni 1982
2.       SDN Kebondalem 3 Pemalang, Jawa Tengah 1988-1991
3.       SDN Sukarela 3 Bandung 1991-1993
4.       SDN No.3 Sigli, Aceh 1993-1994
5.       SMPN No.1 Sigli, Aceh 1994-1995
6.       SMPN No.3 Banda Aceh 1995-1997
7.       SMUN 3 Banda Aceh 1997-1999
8.       SMUN 3 Bandar Lampung 1999 - 2000
9.       Teknik Elektro, Universitas Lampung  2000-2001 (tidak selesai)
10.    S1 Teknik Geodesi, Institut Teknologi Bandung, 2001-2006
11.    Assosiate Researcher of Center for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung, 2006-2007.
12.    S2 Teknologi Manajemen Lingkungan, Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, 2007-2010.
          13.  CPNS Kementerian Pekerjaan Umum Dese mber 2009
14.    Staf Direktorat Penataan Ruang Wilayah IV, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum 2009 – 2010.
15.    Staf Direktorat Pembinaan Penataan Ruang Daerah Wilayah II, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum 2011 - 2014.
16.    Jabatan Fungsional Penata Ruang Muda pada 2011 - 2017.
17.    Staf Direktorat Pembinaan Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan  Ruang Daerah, Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 2015 – 2017.
18.    Ketua Tim Teknis Integrasi Proyek Strategis Nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi pada 2015 - 2016
19.    Kepala Seksi Bina Provinsi dan Kabupaten Wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, Direktorat Pembinaan Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan  Ruang Daerah, 21 Juni 2017 s/d sekarang.
20.    Ketua Panitia Coffee Morning Direktorat Jenderal Tata Ruang 5 September 2018.
21.    Aktif sebagai Penulis Modul Tata Ruang pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian ATR/BPN
22.    Aktif sebagai Anggota Tim Advisory Direktorat Jenderal Tata Ruang.
23.    Aktif sebagai Anggota Buletin Tata Ruang.
24.    Aktif sebagai Anggota Tim Data dan Informasi Ditjen Tata Ruang.
25.    Aktif sebagai Anggota Studio Peta Ditjen Tata Ruang.

No comments:

Post a Comment