YUDHA
PERDANA, ST.,MT
KEPALA SEKSI BINA PROVINSI DAN
KABUPATEN WILAYAH NUSA TENGGARA, MALUKU, DAN PAPUA
SUBDIREKTORAT PEMBINAAN WILAYAH IV
DIREKTORAT PEMBINAAN PERENCANAAN TATA
RUANG DAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH
Presiden Jokowi telah mengumumkan bahwa satu-satunya
dasar perizinan yang dipakai On Line
Single Submission (OSS) dalam rangka perizinan berusaha dan percepatan
investasi adalah rencana detail tata ruang (RDTR).
RDTR dianggap sebagai dasar perizinan terampuh, karena
2 (dua) hal:
a.
Zoning Mapnya berada dalam skala
1:5.000
Jika diasumsikan sebuah unsur titik peta setara dengan
ukuran 1 mm dalam kertas, maka skala 1:5.000 berarti setiap titik setara dengan
5 meter di lapangan. Objek bangunan yang ukurannya di atas 5 m x 5 m atau 25 m2
harus tergambar sebagai poligon, bukan titik.
Jika ketelitian peta adalah ½ dari ukuran titik, berarti ketelitiannya
mencapai ½ x 5 meter = 2,5 meter. Ketelitian seakurat ini sudah bisa menaksir
perbedaan yang jauh lebih tinggi daripada sekedar perbedaan warna/fungsi blok
peruntukan.
b.
Zoning Textnya, khususnya Matriks ITBX
tegas mengeksekusi kegiatan diizinkan dan dilarang.
Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan mengandung
informasi baris kegiatan apa saja yang diizinkan (I), diizinkan terbatas (T),
diizinkan bersyarat (B), dan dilarang (X) dalam setiap kolom zona/subzona, yang
sering disebut Matriks ITBX.
Matriks ITBX bisa mengeksekusi dengan tegas, mana
kegiatan yang diizinkan (I), mana yang dilarang (X), dan mana yang harus
memenuhi komitmennya, baik bukti komitmen pembatasan unit, luas, intensitas, atau
waktu operasi (Terbatas = T); dan bukti pemenuhan komitmen syarat seperti
syarat konstruksi khusus tahan gempa dan likuifaksi; AMDAL; ANDALALIN; dan
lain-lain.
Dibalik keampuhannya sebagai dasar OSS, berkaca dari
pengalaman 53 (lima puluh tiga) RDTR yang sudah perda, terdapat 3 (tiga)
kekurangan besar RDTR, meliputi:
a.
Proses Penyusunan dan Legalisasinya memakan waktu
rata-rata 3 (Tiga) Tahun
Koreksi peta dasar 1:5.000 dan validasi kajian
lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah dua hal yang memakan waktu hampir satu
tahun anggaran. Materi teknis RDTR sendiri meliputi rangkaian analisis mulai
keterkaitan RTRW; pemilihan delineasi yang compact; potensi, masalah, dan visi
perkotaan; daya dukung dan daya tampung; struktur internal; jaringan pergerakan
dan moda transportasi; kebutuhan ruang; delta eksisting vs rencana dan rencana
pembiayaan pembangunan; dan terakhir peraturan zonasi.
b.
Hampir Semua Perda RDTR hanya Mencakup Pusat kota yang
sudah padat investasi
Kecenderungan delineasi RDTR yang ada cenderung
memilih pusat kota/perkotaan yang sudah padat, bukan di daerah berkembang
apalagi daerah belum terbangun (kosong). Ini ditempuh karena kebutuhan
mengurangi kecenderungan kesemrawutan kota, kebutuhan perizinan yang paling
mendesak, dan kelengkapan data yang sudah tersedia. Hal ini berbanding terbalik
dengan target percepatan investasi yang menyasar kawasan yang belum terbangun
atau belum banyak perizinan.
c.
Luas cakupannya rata-rata hanya 2.000 - 3.000 Ha
Perkotaan yang ideal adalah kota/perkotaan yang
compact, yakni yang memungkinkan pejalan kaki mengakses seluruh kota dengan
berjalan kaki dan naik angkutan massal. Ukuran compact city diyakini berkisar
antara 4 km x 5 Km (2.000 Ha) sampai dengan 5 Km x 6 Km (3.000 Ha). Disamping
itu kebiasaan satuan penganggaran satu perda RDTR untuk kota menengah dengan
luas 25 Km2 (2.500 Ha) adalah Rp2 Milyar. Luasan yang diRDTRkan ini
berpotensi menyisakan banyak area di kabupaten/kota yang tidak diRDTRkan,
padahal OSS memerlukan setiap jengkal tanah di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini diRDTRkan.
Implikasi Surat Edaran Menteri ATR/BPN Nomor
4/SE-PF.01/VII/2019 tanggal 26 Juli 2019 yang ditujukan kepada seluruh
gubernur/bupati/walikota untuk memberikan percepatan rekomendasi pemanfaatan
ruang berdasarkan rencana tata urang yang berlaku, adalah rencana tata ruang
wilayah (RTRW) dipaksa hadir sebagai dasar perizinan investasi di daerah,
sambil menunggu penyelesaian RDTR.
Saat ini, Progress Perda RTRW Kabupaten/Kota
seIndonesia telah mencapai 94,68% yang terdiri atas Perda RTRW Kabupaten
sebanyak 94,45% dan Perda RTRW Kota sebanyak 95,69%. RTRW Kabupaten/Kota ini
memenuhi gap RDTR sebagaimana yang telah dipaparkan sebagai Dasar Perizinan dalam
OSS dengan syarat memiliki ketentuan umum peraturan zonasi (KUPZ) yang lengkap.
Selama KUPZ hanya menjadi jadi lampiran perda RTRW yang sering ditinggalkan
karena kualitasnya belum memadai untuk dijadikan dasar perizinan. Kualitas KUPZ
RTRW yang baik adalah KUPZ yang mampu menjawab dominasi fungsi. Dominasi fungsi
ruang adalah ambang batas yang menyatakan kinerja suatu kawasan belum terganggu
atau kriteria lokal minimum suatu kawasan belum terlampaui.
Hasil survey menunjukkan lambatnya perizinan di daerah
akibat keragu-raguan dalam membaca aturan, salah satunya Dominasi Fungsi Ruang
dalam RTRW yang harus lewat TKPRD dan surat keterangan kesesuaian ruang kota.
Menindaklanjuti surat edaran dimaksud, Bupati dan
walikota dapat memecahkan Misteri Dominasi Fungsi Ruang RTRW, dengan membuat
perbup/perwal tentang Operasionalisasi KUPZ RTRW yang bentuknya seperti Matriks
ITBX, hanya saja tidak ada T, dan B tapi I dan X. Bagian I nya diganti dengan
angka persen yang menunjukkan batas luas maksimal poligon-poligon usaha
berbanding kawasan di seluruh kota.
I.
Konsep Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kabupaten
Ambang batas (dominasi) dapat diwakili oleh persen
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel I Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kabupaten.
Tabel berupa Baris Kelompok Aktivitas dan Kolom Kawasan, berturut-turut
meliputi Pertambangan (TAM); Industri dan Pergudangan (IP); Perkebunan (KEB);
Hutan Lindung/Kota (HUT); Pertanian Tanaman Pangan (TP); Peternakan (TER);
Permukiman Perdesaan (PDES); dan Permukiman Perkotaan (PKOT).
TABEL I DOMINASI FUNGSI RUANG RTRW KABUPATEN
No
|
Kawasan
Kelompok
Aktivitas
|
TAM
|
IP
|
KEB
|
HUT
|
TP
|
TER
|
PDES
|
PKOT
|
1
|
Pertambangan
(TAM)
|
80%
|
2%
|
5%
|
2%
|
X
|
X
|
X
|
X
|
2
|
Industri
dan Pergudangan (IP)
|
20%
|
70%
|
5%
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
3
|
Perkebunan
(KEB)
|
X
|
X
|
50%
|
6%
|
X
|
10%
|
5%
|
X
|
4
|
Hutan
Lindung/Kota (HUT)
|
X
|
20%
|
20%
|
90%
|
X
|
3%
|
5%
|
20%
|
5
|
Pertanian
Tanaman Pangan (TP)
|
X
|
X
|
10%
|
X
|
90%
|
2%
|
20%
|
X
|
6
|
Peternakan
(TER)
|
X
|
5%
|
5%
|
X
|
X
|
80%
|
5%
|
X
|
7
|
Permukiman
Perdesaan (PDES)
|
X
|
X
|
5%
|
2%
|
10%
|
5%
|
60%
|
10%
|
8
|
Permukiman
Perkotaan (PKOT)
|
X
|
3%
|
X
|
X
|
X
|
X
|
5%
|
70%
|
|
Total
|
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
1. Kawasan Peruntukan Pertambangan (TAM) di seluruh
wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas
berikut:
a. Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 80%
(delapan puluh persen); dan
b. Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi
maksimal 20% (dua puluh persen).
2. Kawasan Peruntukan Industri dan Pergudangan (IP) di
seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok
aktivitas berikut:
a. Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi
maksimal 70% (tujuh puluh persen);
b. Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 2% (dua
persen);
c. Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal
20% (dua puluh persen);
d. Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 5% (lima
persen); dan
e. Permukiman Perkotaan (PKOT), dengan akumulasi maksimal
3% (tiga persen)
3. Kawasan Peruntukan Perkebunan (KEB) di seluruh wilayah
kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a. Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 50% (lima
puluh persen);
b. Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 5% (lima
persen);
c. Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi
maksimal 5% (lima persen);
d. Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal
20% (dua puluh persen);
e. Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi
maksimal 10% (sepuluh persen);
f. Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 5% (lima
persen); dan
g. Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal
5% (lima persen).
4. Kawasan Hutan Lindung/Kota (HUT) di seluruh wilayah
kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a. Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal
90% (sembilan puluh persen);
b. Pertambangan (TAM), dengan akumulasi maksimal 2% (dua
persen);
c. Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 6% (enam
persen); dan
d. Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal
2% (dua persen).
5. Kawasan Peruntukan Tanaman Pangan (TP) di seluruh
wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas
berikut:
a. Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi
maksimal 90% (sembilan puluh persen); dan
b. Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal
10% (sepuluh persen).
6. Kawasan Peruntukan Peternakan (TER) di seluruh wilayah
kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a. Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 80%
(delapan puluh persen);
b. Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 10%
(sepuluh persen);
c. Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 3%
(tiga persen);
d. Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi
maksimal 2% (dua persen); dan
e. Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal
5% (lima persen).
7. Kawasan Peruntukan Permukiman Perdesaan (PDES) di
seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok
aktivitas berikut:
a. Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal
60% (enam puluh persen);
b. Perkebunan (KEB), dengan akumulasi maksimal 5% (lima
persen);
c. Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal 5%
(lima persen);
d. Pertanian Tanaman Pangan (TP), dengan akumulasi
maksimal 20% (dua puluh persen);
e. Peternakan (TER), dengan akumulasi maksimal 5% (lima
persen); dan
f. Permukiman Perkotaan (PKOT), dengan akumulasi maksimal
5% (lima persen).
8. Kawasan Peruntukan Permukiman Perkotaan (PKOT) di
seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok
aktivitas berikut:
a. Permukiman Perkotaan (PKOT), dengan akumulasi maksimal
70% (tujuh puluh persen);
b. Hutan Lindung/Kota (HUT), dengan akumulasi maksimal
20% (dua puluh persen); dan
c. Permukiman Perdesaan (PDES), dengan akumulasi maksimal
10% (sepuluh persen).
|
Gambar 1 Pendetailan RTRW Kabupaten
|
II.
Konsep Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kota
Ambang batas (dominasi) dapat diwakili oleh persen
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel II Dominasi Fungsi Ruang RTRW Kota. Tabel
berupa Baris Kelompok Aktivitas dan Kolom Kawasan, berturut-turut meliputi
Industri dan Pergudangan (IP); Perdagangan dan Jasa (PJ); Pendidikan dan
Perkantoran (PP); Perumahan Padat (PRP); Perumahan Rendah (PRR); dan Ruang
Terbuka Hijau (RTH).
TABEL II DOMINASI FUNGSI RUANG RTRW KOTA
No
|
Kawasan
Kelompok
Aktivitas
|
IP
|
PJ
|
PP
|
PRP
|
PRR
|
RTH
|
1
|
Industri dan Pergudangan (IP)
|
70%
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
2
|
Perdagangan dan Jasa (PJ)
|
4%
|
60%
|
X
|
X
|
X
|
X
|
3
|
Pendidikan dan Perkantoran (PP)
|
3%
|
10%
|
70%
|
X
|
X
|
X
|
4
|
Perumahan Padat (PRP)
|
2%
|
7%
|
8%
|
60%
|
X
|
X
|
5
|
Perumahan Rendah (PRR)
|
1%
|
3%
|
2%
|
20%
|
80%
|
X
|
6
|
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
|
20%
|
20%
|
20%
|
20%
|
20%
|
100%
|
|
Total
|
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
1. Kawasan Industri Pergudangan (IP) di seluruh wilayah
kabupaten hanya boleh diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a. Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi
maksimal 70% (tujuh puluh persen);
b. Perdagangan dan Jasa (PJ), dengan akumulasi maksimal
4% (empat persen);
c. Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi maksimal
3% (tiga persen);
d. Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 2%
(dua persen);
e. Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 1%
(satu persen); dan
f. Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal
20% (dua puluh persen).
2. Kawasan Perdagangan dan Jasa (PJ) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi
berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a. Perdagangan dan Jasa (PJ), dengan akumulasi maksimal
60% (enam puluh persen);
b. Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi
maksimal 10% (sepuluh persen);
c. Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 7%
(tujuh persen);
d. Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 3%
(tiga persen); dan
e. Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal
20% (dua puluh persen).
3. Pendidikan dan Perkantoran (PP) di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh
diisi berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a. Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi
maksimal 70% (tujuh puluh persen);
b. Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 8%
(delapan persen);
c. Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 2%
(dua persen); dan
d. Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal
20% (dua puluh persen).
4. Perumahan
Padat (PRP), di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi
berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a. Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 60%
(enam puluh persen);
b. Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 20%
(dua puluh persen); dan
c. Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal
20% (dua puluh persen).
5. Perumahan
Rendah (PRR), di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi
berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a. Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 80%
(delapan puluh persen); dan
b. Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi maksimal
20% (dua puluh persen).
6. Perumahan
Rendah (PRR), di seluruh wilayah kabupaten hanya boleh diisi
berturut-turut oleh kelompok aktivitas berikut:
a. Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan akumulasi tak
terbatas, atau 100% (seratus persen).
b. Industri dan Pergudangan (IP), dengan akumulasi maksimal
20% (dua puluh persen);
c. Perdagangan dan Jasa (PJ), dengan akumulasi maksimal 20%
(dua puluh persen);
d. Pendidikan dan Perkantoran (PP), dengan akumulasi
maksimal 20% (dua puluh persen);
e. Perumahan Padat (PRP), dengan akumulasi maksimal 20% (dua
puluh persen); dan
f. Perumahan Rendah (PRR), dengan akumulasi maksimal 20%
(dua puluh persen)
|
Gambar 2 Pendetailan RTRW Kota
|
III.
Kesimpulan
dan Tindak Lanjut
1. Konsep Peraturan Bupati/Walikota tentang
Opersionalisasi KUPZ RTRW Kabupaten/Kota yang Lampirannya berbentuk Tabel I dan
II menjawab 3 (tiga) kelemahan Perda RDTR:
a. Kecepatan legalisasi yang jauh lebih tinggi;
b. Mengcover kawasan terbangun yang padat investasi dan
kawasan yang belum terbangun yang merupakan potensi investasi baru; dan
c. Menjangkau seluruh jengkal tanah wilayah administrasi
kabupaten/kota
2. Persentase di dalam sel Tabel I dan II berarti dua
hal:
a. Rasio Intensitas Pemanfaatan Ruang maksimal yang
diperbolehkan dalam persil yang dikuasai; dan
b. Akumulasi Jenis Kegiatan Tertentu berbanding Seluruh
Akumulasi Kegiatan di dalam kawasan tertentu (Kuota Maksimal Kegiatan).
3. Tabel I dan II perlu penyesuaian lebih lanjut oleh
pemerintah kabupaten/kota, sebagai berikut:
a. Kolom Kawasan disesuaikan dengan RTRW Kabupaten/Kota;
b. Baris Kegiatan agar dirinci kembali sesuai dengan
kebutuhan perizinan; dan
c. Angka persentase disesuaikan kembali memperhatikan
kriteria lokal minimal masing-masing kawasan di daerah.
Riwayat Hidup
1. Lahir di Semarang, 15
Juni 1982
2. SDN Kebondalem 3
Pemalang, Jawa Tengah 1988-1991
3. SDN Sukarela 3 Bandung
1991-1993
4. SDN No.3 Sigli, Aceh
1993-1994
5. SMPN No.1 Sigli, Aceh
1994-1995
6. SMPN No.3 Banda Aceh
1995-1997
7. SMUN 3 Banda Aceh
1997-1999
8. SMUN 3 Bandar Lampung
1999 - 2000
9. Teknik Elektro, Universitas
Lampung 2000-2001 (tidak selesai)
10. S1 Teknik Geodesi,
Institut Teknologi Bandung, 2001-2006
11. Assosiate
Researcher of Center for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung,
2006-2007.
12. S2 Teknologi Manajemen
Lingkungan, Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, 2007-2010.
13. CPNS Kementerian
Pekerjaan Umum Dese mber 2009
14. Staf Direktorat
Penataan Ruang Wilayah IV, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian
Pekerjaan Umum 2009 – 2010.
15. Staf Direktorat
Pembinaan Penataan Ruang Daerah Wilayah II, Direktorat Jenderal Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum 2011 - 2014.
16. Jabatan Fungsional
Penata Ruang Muda pada 2011 - 2017.
17. Staf Direktorat
Pembinaan Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan Ruang Daerah, Direktorat Jenderal Tata Ruang,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 2015 – 2017.
18. Ketua Tim Teknis
Integrasi Proyek Strategis Nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
pada 2015 - 2016
19. Kepala Seksi Bina
Provinsi dan Kabupaten Wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, Direktorat
Pembinaan Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan Ruang Daerah, 21 Juni 2017 s/d sekarang.
20. Ketua Panitia Coffee Morning Direktorat Jenderal Tata
Ruang 5 September 2018.
21. Aktif sebagai Penulis
Modul Tata Ruang pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM)
Kementerian ATR/BPN
22. Aktif sebagai Anggota
Tim Advisory Direktorat Jenderal Tata
Ruang.
23. Aktif sebagai Anggota Buletin
Tata Ruang.
24. Aktif sebagai Anggota
Tim Data dan Informasi Ditjen Tata Ruang.
25. Aktif sebagai Anggota Studio
Peta Ditjen Tata Ruang.
No comments:
Post a Comment