I. Sepuluh Tahun Penataan Ruang
Penataan ruang klasik di era Undang-Undang Nomor
24 Tahun 1992 ditandai dengan tidak adanya sanksi bagi pelanggar tata ruang,
terlebih lagi rencana tata ruang dapat direvisi setiap tahun mengakomodasi
dinamika pembangunan yang sifatnya spontan. Tepat 10 (sepuluh) tahun yang lalu,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 hadir agar Tata Ruang menjadi panglima bagi
semua kegiatan pembangunan sektoral dan wilayah. Di dalamnya diterapkan sanksi
bagi pelanggar tata ruang dan mengatur peninjauan kembali serta revisi maksimal
pada tahun ke-5. Sepuluh Tahun Catatan Emas Penataan Ruang berdasarkan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dipresentasikan antara lain melalui
kronologis sebagai berikut:
a. Tahun 2007, Lahirnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Penetapan Norma Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) tentang Penataan Ruang.
Pertempuran panjang melahirkan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sebuah kemenangan konstitusional yang
kemudian dilanjutkan dengan kemenangan institusional.
NSPK penataan ruangpun mulai digarap dan lahir
melengkapi undang-undang tersebut, antara lain:
1.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Teknik
Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang;
2.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor dan Gerakan Tanah;
3.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 Tanggal 9 Agustus
2007 Tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung;
4. Pedoman Kriteria Teknis
Kawasan Budi Daya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/PRT/M/2007;
5. Dan lain-lain.
b. Tahun 2008, Lahirnya RTRWN dan Proses Persetujuan Substansi RTRW Pertama Kali RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) lahir sebagai arahan spasial makro pada
skala 1:1.000.000 yang di dalamnya mengatur hal-hal yang merupakan concern nasional, meliputi sistem pusat
kegiatan nasional dan wilayah, jaringan prasarana kewenangan nasional, kawasan
lindung kewenangan nasional, kawasan andalan, kawasan strategis nasional, dan
indikasi program perwujudan struktur ruang dan pola ruang nasional.
Institusi muda di bawah kementerian raksasa ini
mulai menyebarkan kabar gembira tentang tata ruang sebagai satu-satunya solusi
tunggal terhadap kehidupan dunia bagi orang-orang yang taat ruang, serta
menyampaikan kabar buruk bagi orang-orang yang tidak taat, bagi mereka azab
pedih menanti, antara lain tidak bisa melaksanakan pembangunan, degradasi
sumber daya dan lingkungan, penurunan nilai sosial, kesemrawutan, bencana, dan
kematian.
Perjuangan yang sangat melelahkan karena banyak
daerah yang sudah berkembang terbiasa mengeksploitasi sumber daya alam dan
menempatkan rencana tata ruang tanpa sanksi yang hanya ditegakkan di dalam
lemari. Daerah lainnya yang belum berkembang justru ingin menangkap investasi
sebanyak-banyaknya meniru daerah yang sudah berkembang.
Tantangan yang pelik di daerah tersebut dapat
diantisipasi sehingga beberapa daerah berikut maju memohon persetujuan
substansi untuk pertamakali. Beberapa daerah yang mencatatkan prestasinya dalam
sejarah emas penataan ruang melakukan permohonan persetujuan substansi raperda
RTRW pada tahun 2008, antara lain:
1.
Raperda RTRW Provinsi Bali;
2.
Raperda RTRW Provinsi Sulawesi Selatan;
3.
Raperda RTRW Provinsi Papua Barat;
4.
Raperda RTRW Kabupaten Timor Tengah Utara;
5.
Raperda RTRW Kabupaten Flores Timur;
6.
Raperda RTRW Kabupaten Nabire;
7.
Raperda RTRW Kabupaten Jayapura;
8.
Raperda RTRW Kabupaten Sidoarjo;
9.
Raperda RTRW Kabupaten Bangkalan; dan
10. Raperda RTRW Kota Banda
Aceh;
11. Dan lain-lain.
c. Tahun 2009, Penetapan
Pedoman Penyusunan RTRW dan Lahirnya RTRW Provinsi Pertama Kali:
1. Penetapan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, dan RTRW Kota:
a)
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
b)
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; dan
c)
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota.
2. Penetapan RTRW Provinsi pertama kali:
a)
Perda Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi
Sulawesi Selatan tanggal 26 November 2009
b)
Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali
tanggal 28 Desember 2009.
d. Tahun 2010, Beberapa
Rancangan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota lainnya mulai melakukan permohonan persetujuan
substansi dan menetapkan perda.
Ketika daerah mulai berbondong melakukan
persetujuan substansi RTRW, ada 3 (tiga) batu sandungan menghadang, yaitu alih
fungsi dan peruntukan kawasan hutan, perbedaan klaim batas administrasi, dan
ketelitian peta rencana tata ruang.
Tiga batu sandungan tersebut diperparah dengan angin
egosektoral yang masih bertiup kencang melanda instansi di Pusat anggota Badan
Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Perjuangan dari meja ke meja dari waktu ke
waktu telah membuktikan bahwa semangat penataan ruang telah membuka ruang yang
tertutup menjadi ruang terbuka, instansi yang tertutup menjadi terbuka dan
kooperatif. Lahirnya Tim Terpadu Kehutanan dan sharing data spasial (shapefile) dari pemda untuk maju
asistensi ke Bakosurtanal adalah capaian tak terlupakan. Harus dicatat dan
jangan pernah dilupakan bahwa transformasi
positif kelembagaan tersebut digerakkan oleh Penataan Ruang.
BKPRN sebagai lembaga lintas sektor yang mengurusi
penataan ruang mulai menemukan gairahnya dan bentuknya hingga melahirkan
kesepakatan demi kesepakatan demi penyelesaian RTRW. Salah satu kesepakatan di
era ini adalah RTRW tidak menetapkan garis batas administrasi, namun RTRW
memastikan kesesuaian fungsi ruang antara daerah satu dan lainnya yang mengacu
RTRW di atasnya.
e. Tahun 2011: Puncak
Masa Percepatan Persetujuan Substansi RTRW (90% Persetujuan Substansi RTRW
Lahir di era ini)
Peperangan suci terbesar yang pernah terjadi abad
ini terjadi pada tahun 2011. Semangat penataan ruang berhembus dan bergerak di
segala lini, segala upaya, formal-informal, indoor-outdoor, merayu, melobby,
mengawal, membina jiwa-jiwa pembela tata ruang, dan meluluhlantakkan jiwa-jiwa
anti tata ruang di daerah. Tahun 2011 adalah Tahun emas yang merupakan puncak
kejayaan Penataan Ruang mengingat prestasi bahwa 90% persetujuan substansi RTRW
lahir di era ini.
Tahun 2011 adalah saksi ketika Tata Ruang hadir
sebagai panglima bagi semua sektor. Dengan core
business Persetujuan Substansi RTRW, kementerian/lembaga ikut melakukan
transformasi mendukung persetujuan substansi tersebut, antara lain:
1. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) membuka
asistensi pemetaan rencana tata ruang pertamakalinya dan pada tanggal 27 Desember 2011 Bakosurtanal bertransormasi
menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG).
2. Kementerian Kehutanan melalui Tim Terpadu pertamakalinya memproses
semua usulan alih fungsi dan peruntukan kawasan hutan yang tercantum dalam rancangan
RTRW provinsi se-Indonesia yang diajukan oleh gubernur.
3. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) yang merupakan badan
lintas sektor bekerja paling aktif di masa ini, dengan setiap minggu melakukan
rata-rata 3 (tiga) kali rapat pembahasan RTRW dalam rangka persetujuan
substansi. Hadir dan aktifnya BKPRN di masa ini menghapus isu egosektor yang
pernah ada.
f. Tahun 2012, Puncak
Masa Percepatan Perda RTRW (90% penetapan perda RTRW Lahir di era ini).
Pengawal
tata ruang bertransformasi menjadi detektif yang sempurna, memonitor agenda
para petinggi dan legislator daerah untuk menyampaikan berita gembira bahwa
tinggal selangkah lagi menuju penetapan perda RTRW. Di satu sisi juga
mengobrak-abrik jiwa-jiwa anti penetapan perda RTRW, memasukkan mereka ke dalam
golongan orang-orang yang sesat dan gagal.
Tahun
2012 adalah lanjutan gelaran prestasi besar yang ditorehkan para pengawal penataan ruang mengingat 90% perda RTRW lahir
di era ini:
1. 91,17% penetapan RTRW Provinsi; dan
2. 90,35% penetapan RTRW Kabupaten dan RTRW kota.
g. Tahun 2012 – 2017,
Implementasi RTRW
Terdapat
4 (empat) tantangan utama yang dihadapi di era Implementasi RTRW ini, meliputi:
1.
Perlunya Contoh Implementasi Fisik dan Ekonomi sesuai dengan Rencana
Tata Ruang.
Program-program stimulan, antara lain Kota Hijau,
Kota Pusaka, Perdesaan Berkelanjutan, dan Pengembangan Pusat Kegiatan di
Koridor Papua dilakukan pada Tahun 2013-2014 yang telah terbukti keandalan
secara fisiknya, namun satu hal yang masih belum tercapai adalah Tata Ruang secara
keseluruhan belum terintegrasi dengan kepastian implementasi fisik dan ekonomi
di daerah.
2.
Perubahan Kebijakan/Rencana/Program (KRP) Nasional
Terdapat
2 (dua) perubahan KRP utama yang paling signifikan dalam implementasi RTRW, yaitu:
a) Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Proyek Strategis Nasional (PSN); dan
b) Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembanguan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019.
Perubahan
KRP nasional ini harus diantisipasi di dalam perda RTRW melalui beberapa
skenario:
a) peninjauan kembali RTRW provinsi/kabupaten/kota yang rata-rata jatuh
pada Tahun 2017;
b) revisi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang
memasukkan klausul khusus untuk PSN dapat diberikan izin bilamana belum
terakomodir di dalam RTRW; dan/atau
c) peninjauan kembali Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
RTRW Nasional.
3.
Perubahan Institusi dan Kelembagaan Penataan Ruang
a) Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria Dan
Tata Ruang.
Melalui Perpres ini, Instansi Penataan Ruang
berpindah dari Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum menjadi
Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional.
b) Peraturan Presiden Nomor 116 tahun 2016 tentang Pembubaran Badan Adhoc
termasuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN).
c) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah.
Berdasarkan hasil PP ini, seluruh provinsi/kabupaten/kota
di Indonesia telah melahirkan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang dengan
Penataan Ruang muncul sebagai bidang (Unit Eselon III) tersendiri.
4.
Kurang Lengkapnya Unsur ‘Standar’ dan ‘Kriteria’ dalam NSPK Perencanaan
Tata Ruang Dan Kurang Lengkapnya NSPK serta Instrumen Pemanfaatan Ruang.
a)
Muatan Standar dan Kriteria (SK) dalam NSPK Perencanaan Tata Ruang
Muatan SK tidak dimuat sama sekali pada Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15,16,dan 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Teknik Analisis Aspek Fisik &
Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
tidak memuat SK secara detail dan contoh aplikasi analisis dan perhitungannya.
NSPK perencanaan tata ruang yang diharapkan adalah
NSPK yang menjembatani tata ruang dengan sektor dan terukur jelas analisis
perhitungannya, serta harus dapat diterpakan dengan mesin pengolah spasial, atau
yang sering disebut sebagai sistem informasi geografis.
Berikut adalah contoh SK Perencanaan Kawasan Peruntukan
Industri, hasil adopsi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2010
tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri yang dapat dihitung dengan teknik
analisis spasial ‘buffer’, overlay ‘clip dan ‘erase’ dengan perangkat lunak
SIG:
SK Perencanaan Kawasan Peruntukan Industri:
1) Kelerengan ≤15%;
2) Jarak minimal dengan sungai 5Km;
3) Nilai total kelerengan + jenis tanah + curah hujan ≤ 124;
4) Jarak minimal dengan Pusat Kegiatan (PKN, PKW, PKL) 10Km;
5) Jarak minimal dengan kawasan permukiman 2Km;
6) Jarak minimal dari jalan nasional (Arteri Primer dan Kolektor Primer
K1) 5Km; dan
7) Berada di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
SK
serupa dapat terus diciptakan untuk kawasan lainnya untuk menjembatani
nomenklatur dan kebutuhan penataan ruang dengan nomenklatur dan kebutuhan
sektoral.
b)
NSPK dan Instrumen Pemanfaatan Ruang
Terdapat 3
(tiga) unsur pengaturan di setiap 1 (satu) jenis kawasan (dalam RTRW), atau
subzona (dalam RDTR), meliputi:
1) How is it planned → kriteria perencanaan
2) How is it performed → kriteria pemanfaatan
3) How is it controlled → kriteria pengendalian
Kebanyakan
perencana dan pengawal tata ruang hanya concern pada Unsur 1) dan Unsur 3) sedangkan
masyarakat umum, sektor, dan dunia usaha hanya concern pada Unsur 2). Hal
tersebut menimbulkan celah antara langit perencanaan tata ruang dan bumi
pemanfaatan ruang.
Kondisi
ini menyebabkan pertanyaan umum:
1) Apa implikasi ruangnya?
Sebagai contoh pada RDTR, apakah jika Zona Pertanian
(PL-1.a) diizinkan terbatas budidaya perikanan (PL-1.b) dengan syarat alih
fungsi maksimal 50% dari luas tanah sawah yang dimiliki masihkah punya performa
sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan pemasok kebutuhan beras provinsi?.
2) Kapan dikatakan suatu pusat kegiatan atau suatu kawasan sudah terwujud
di lapangan, dan kapan dikatakan belum?
Contoh kapan suatu kota sudah jadi PKN, PKW, atau
masih PKL berstatus PKN?, dan kapan kawasan perdagangan dan jasa modern dikatakan
sudah terwujud, kapan belum?.
Berikut
adalah perbedaan Kriteria Perencanaan dengan Kriteria Pemanfaatan Hutan
Lindung:
1) Kriteria Perencanaan Hutan Lindung adalah kawasan dengan Nilai total
kelerengan, jenis tanah, dan curah hujan di atas 175. Jadi meliputi parameter
kelerengan, Jenis Tanah, dan Curah Hujan.
2) Kriteria pemanfaatan Hutan Lindung meliputi parameter diameter
rata-rata pohon, ketinggian rata-rata pohon, lebar kanopi rata-rata minimal
ohon, dan kerapatan rata-rata minimal antar pohon, jenis spesies tumbuhan, dan
lain-lain.
II. Tahun 2017 – 2022: Masa Peninjauan Kembali
RTRW dan Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi
Kesiapan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah
menyongsong Puncak Masa Peninjauan Kembali RTRW dan Penyusunan Rencana Detail
Tata Ruang dan Peraturan Zonasi ditunjukkan dengan jawaban:
a.
Tantangan Utama Pemanfaatan Ruang (Era Implementasi RTRW)
Empat tantangan utama Implementasi RTRW
sebagaimana dimaksud yang harus dijawab meliputi:
1. Integrasi Rencana Tata Ruang dengan Kepastian Implementasi Fisik dan
Ekonomi
Direktorat Pemanfaatan Ruang-Ditjen Tata
Ruang-Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN sedang mengembangkan sistem
informasi pemanfaatan ruang online (SIFATARU) yang di dalamnya memastikan hasil
sinkronisasi RTR dengan program pembangunan diimplementasikan dalam bentuk penganggaran
seluruh kementerian/lembaga.
Sistem ini masih dalam pengembangan dan memerlukan
tindak lanjut berupa peran aktif pengawasan dan pengawalan implementasi fisik
dari pemerintah daerah dan masyarakat.
2. Perubahan Kebijakan/Rencana/Program (KRP) Nasional
a)
Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2017 tentang Perubahan atas
peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional.
Muatan kunci dari PP 13 Tahun 2017 tentang
Perubahan RTRW Nasional adalah proyek strategis nasional yang dimuat dalam
lampiran dan penambahan Pasal 114 A sebagai berikut:
Pasal 114A
(1)
Dalam hal rencana kegiatan pemanfaatan ruang bemilai strategis nasional
dan/atau berdampak besar yang belum dimuat dalam peraturan daerah tentang
rencana tata ruang provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota,
dan/atau rencana rincinya, izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 114 didasarkan pada Peraturan Pemerintah ini.
(2)
Dalam pemberian izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Menteri dapat memberikan rekomendasi pemanfaatan ruang.
b)
Peninjauan kembali Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
c)
Kajian Integrasi Proyek Strategis Nasional dengan
RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota yang dikerjakan oleh Direktorat Pembinaan
Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan Ruang Daerah yang telah dibahas pada
Rapat Kerja Nasional BKPRN tanggal 5 November 2015 di Hotel Borobudur dan Rapat
koordinasi Kementerian Agaria dan Tata Ruang/BPN tanggal 12 Januari 2016 di
Palembang.
3. Perubahan Institusi dan Kelembagaan Penataan Ruang di Pusat dan daerah
Usaha
dan/atau hasil yang telah/masih perlu dilakukan meliputi:
a) Perlunya pembekalan terhadap unit kerja baru Bidang Penataan Ruang,
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang di provinsi/kabupaten/kota.
Di Daerah, Bidang Penataan Ruang berada di dalam
naungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, dengan alasan:
· Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang adalah satu kesatuan urusan wajib
konkuren sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah.
· Penataan Ruang adalah sebuah siklus mulai
Perencanaan-Pemanfaatan-Pengendalian-Peninjauan Kembali yang semua komponennya
harus dilakukan sama kuatnya, sehingga letak unit kerjanya di Bappeda dianggap
hanya fokus pada perencanaan makro saja, sementara pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruangnya terabaikan.
· Unsur Utama Struktur Ruang, berupa jaringan prasarana utama
diselenggarakan dan dibangun oleh Dinas Pekerjaan Umum, sehingga kepastian
implementasi RTRW jadi lebih terjamin dan terukur.
b) Kelembagaan Tata Ruang di Pusat pasca BKPRN
Draft Rapermen tentang Tim Koordinasi Penataan
Ruang Nasional (TKPRN) telah dibahas bersama dengan Sekretariat Kabinet pada
tanggal 18 April 2017 di Swiss-Belhotel Kemang, Jakarta.
c) Integrasi agraria dan tata ruang
Masih
perlunya integrasi agraria dan tata ruang, antara lain melalui:
1) Penyusunan RTRW dan RDTR ke depan harus memasukkan dan menganalisis
data neraca penggunaan tanah dan peta bidang tanah;
2) Sistem informasi tata ruang dan pertanahan; dan/atau
3) Restrukturisasi organisasi.
4. Kurang lengkapnya unsur ‘standar’ dan ‘kriteria’ dalam NSPK Bidang
Penataan Ruang dan kurang lengkapnya NSPK serta instrumen pemanfaatan ruang.
Saat
ini sedang dilakukan pembahasan revisi:
a) Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota (Permen PU Nomor 15,
16, dan 17 Tahun 2009)
Rancangan pedoman ini menambahkan unsur standar
dan kriteria, serta contoh cara menyusun fakta dan analisis RTRW yang
berkualitas.
b) Pedoman Persetujuan Substansi (Permen PU nomor 11 Tahun 2009)
Rancangan pedoman ini menambahkan penanggungjawab
di setiap tahapan, durasi setiap tahapan, dan masa berlaku surat persetujuan
substansi; dan
c) Untuk mengantisipasi kurang lengkapnya NSPK serta instrumen pemanfaatan
ruang, di Direktorat Jenderal Tata Ruang telah dibentuk Direktorat Pemanfaatan
Ruang, di dalamnya terdapat Subdirektorat Pedoman Pemanfaatan Ruang. Saat ini
tengah menggarap beragam pedoman pemanfaatan ruang, diantaranya Pedoman
Penjaminan Kualitas Rencana Tata Ruang, yang dulu diinisiasi oleh Direktorat
Pembinaan Penataan Ruang Daerah Wilayah II-Ditjen Penataan Ruang-Kementerian
Pekerjaan Umum.
b.
Tantangan Perencanaan Tata Ruang masa kini.
1. Asistensi Peta Rencana Tata Ruang di Badan Informasi Geospasial
Asistensi meliputi 5 (lima Tahapan):
·
Asistensi akurasi sumber data (citra input);
·
Asistensi Peta Dasar (harus dilakukan survey ground control point dan independent check point oleh daerah
untuk peta skala 1:5.000);
·
Asistensi Peta Tematik;
·
Asistensi Peta Rencana; dan
·
Asistensi layout peta dan manajemen data folder.
2. Pembahasan RTRW Kabupaten dan rencana rincinya di Kementerian Dalam
Negeri sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2017 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Ruang Daerah.
Berbeda dengan Permendagri Nomor 28 tahun 2008
yang hanya RTRW Provinsi yang dibahas di Kementerian Dalam Negeri, Permendagri
Nomor 13 Tahun 2016 juga mengharuskan evaluasi RTRW kabupaten dan rencana
rincinya juga dibahas di Kementerian Dalam Negeri.
3. Validasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Badan Lingkungan
Hidup Provinsi atau di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai PP Nomor
6 Tahun 206 tentang Tatacara Penyelenggaraan KLHS.
KLHS
harus dinyatakan valid oleh Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan sebelum
diintegrasikan ke dalam muatan RTRW.
4. Pola baru Persetujuan Substansi RTRW dan rencana rincinya.
Permen Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 8 Tahun
2017 tentang Pemberian Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang yang merupakan
revisi Permen PU Nomor 11 Tahun 2009 telah lahir dengan prinsip membagi proses
pembinaan sebagai ‘sekolah’ dan persetujuan substansi sebagai ‘ujian’nya. Permen
ini khusus mengatur ‘ujian’nya.
Rancangan pedoman persetujuan substansi yang baru juga
menambahkan penanggungjawab di setiap tahapan, memuat durasi setiap tahapan,
dan batas maksimal masa berlaku surat persetujuan substansi hingga penetapan
perda [yperdana, Juni 2017].
No comments:
Post a Comment