Saturday, July 1, 2017

Sepuluh Tahun Catatan Emas Penataan Ruang dan Tantangan Masa Kini

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang laksana kitab penyempurna sebagai satu-satunya solusi hidup memanfaatkan ruang yang di dalamnya memuat sanksi keras bagi para pelanggar, mengatur peninjauan kembali rencana tata ruang maksimal pada tahun ke-5 (kecuali kasus khusus), dan revisi yang anti pemutihan. Namun laksana kitab di akhir zaman, tetap memerlukan sosok nabi dan perjuangan para sahabat-sahabatnya yang penuh pengorbanan, tak kenal lelah hingga seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke memeluk erat ajaran tata ruang, mengikatnya dalam tekad bersama bernama perda rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan mengimplementasikan tekad tersebut di lapangan demi terciptanya ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
 Sepuluh tahun yang telah kita lewati mengecap seluruh panca indera dan mata hati kita semua sebagai saksi kunci dari sebuah bukti agung bahwa Penataan Ruang bukan sekedar ajaran yang berhenti sebatas peraturan perundang-udangan yang hanya tegak berdiri di sudut rak buku instansi pengusungnya. Penataan Ruang telah diikrarkan, diikat dalam wujud perda RTRW provinsi/kabupaten/kota yang kini sudah mencapai 90%, diamalkan, dan diimplementasikan meskipun masih banyak cobaan dan kekurangan yang wajar karena usianya yang masih terlalu muda. Ibarat usia manusia, penataan ruang adalah anak usia Kelas V Sekolah Dasar yang telah matang secara iman dan kepribadian. Tinggal sedikit sentuhan ilmu dan kemampuan ekonomi, maka dia akan tumbuh menjadi seorang Ibnu Sina, dan para cendekiawan lainnya yang hidup di Era Kekhalifahan Abbasiyah yang menelurkan semua masterpiecenya sebelum menginjak usia 20 tahun. Agar diingat kembali bahwa dua puluh tahun adalah interval waktu sebuah produk rencana tata ruang.


I. Sepuluh Tahun Penataan Ruang

Penataan ruang klasik di era Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 ditandai dengan tidak adanya sanksi bagi pelanggar tata ruang, terlebih lagi rencana tata ruang dapat direvisi setiap tahun mengakomodasi dinamika pembangunan yang sifatnya spontan. Tepat 10 (sepuluh) tahun yang lalu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 hadir agar Tata Ruang menjadi panglima bagi semua kegiatan pembangunan sektoral dan wilayah. Di dalamnya diterapkan sanksi bagi pelanggar tata ruang dan mengatur peninjauan kembali serta revisi maksimal pada tahun ke-5. Sepuluh Tahun Catatan Emas Penataan Ruang berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dipresentasikan antara lain melalui kronologis sebagai berikut:
 
a.    Tahun 2007, Lahirnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Penetapan Norma Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) tentang Penataan Ruang.

Pertempuran panjang melahirkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sebuah kemenangan konstitusional yang kemudian dilanjutkan dengan kemenangan institusional.

NSPK penataan ruangpun mulai digarap dan lahir melengkapi undang-undang tersebut, antara lain:

1.    Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang;

2.    Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor dan Gerakan Tanah;

3.    Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 Tanggal 9 Agustus 2007 Tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung;

4.    Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/PRT/M/2007;

5.    Dan lain-lain.

b.    Tahun 2008, Lahirnya RTRWN dan Proses Persetujuan Substansi RTRW Pertama Kali RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) lahir sebagai arahan spasial makro pada skala 1:1.000.000 yang di dalamnya mengatur hal-hal yang merupakan concern nasional, meliputi sistem pusat kegiatan nasional dan wilayah, jaringan prasarana kewenangan nasional, kawasan lindung kewenangan nasional, kawasan andalan, kawasan strategis nasional, dan indikasi program perwujudan struktur ruang dan pola ruang nasional.

Institusi muda di bawah kementerian raksasa ini mulai menyebarkan kabar gembira tentang tata ruang sebagai satu-satunya solusi tunggal terhadap kehidupan dunia bagi orang-orang yang taat ruang, serta menyampaikan kabar buruk bagi orang-orang yang tidak taat, bagi mereka azab pedih menanti, antara lain tidak bisa melaksanakan pembangunan, degradasi sumber daya dan lingkungan, penurunan nilai sosial, kesemrawutan, bencana, dan kematian.

Perjuangan yang sangat melelahkan karena banyak daerah yang sudah berkembang terbiasa mengeksploitasi sumber daya alam dan menempatkan rencana tata ruang tanpa sanksi yang hanya ditegakkan di dalam lemari. Daerah lainnya yang belum berkembang justru ingin menangkap investasi sebanyak-banyaknya meniru daerah yang sudah berkembang.

Tantangan yang pelik di daerah tersebut dapat diantisipasi sehingga beberapa daerah berikut maju memohon persetujuan substansi untuk pertamakali. Beberapa daerah yang mencatatkan prestasinya dalam sejarah emas penataan ruang melakukan permohonan persetujuan substansi raperda RTRW pada tahun 2008, antara lain:

1.    Raperda RTRW Provinsi Bali;

2.    Raperda RTRW Provinsi Sulawesi Selatan;

3.    Raperda RTRW Provinsi Papua Barat;

4.    Raperda RTRW Kabupaten Timor Tengah Utara;

5.    Raperda RTRW Kabupaten Flores Timur;

6.    Raperda RTRW Kabupaten Nabire;

7.    Raperda RTRW Kabupaten Jayapura;

8.    Raperda RTRW Kabupaten Sidoarjo;

9.    Raperda RTRW Kabupaten Bangkalan; dan

10. Raperda RTRW Kota Banda Aceh;

11. Dan lain-lain.

c.     Tahun 2009, Penetapan Pedoman Penyusunan RTRW dan Lahirnya RTRW Provinsi Pertama Kali:

1.    Penetapan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, dan RTRW Kota:

a)       Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;

b)       Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; dan

c)       Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota.

2.    Penetapan RTRW Provinsi pertama kali:

a)       Perda Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Sulawesi Selatan tanggal 26 November 2009

b)       Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali tanggal 28 Desember 2009.

d.    Tahun 2010, Beberapa Rancangan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota lainnya mulai melakukan permohonan persetujuan substansi dan menetapkan perda.

Ketika daerah mulai berbondong melakukan persetujuan substansi RTRW, ada 3 (tiga) batu sandungan menghadang, yaitu alih fungsi dan peruntukan kawasan hutan, perbedaan klaim batas administrasi, dan ketelitian peta rencana tata ruang.

Tiga batu sandungan tersebut diperparah dengan angin egosektoral yang masih bertiup kencang melanda instansi di Pusat anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Perjuangan dari meja ke meja dari waktu ke waktu telah membuktikan bahwa semangat penataan ruang telah membuka ruang yang tertutup menjadi ruang terbuka, instansi yang tertutup menjadi terbuka dan kooperatif. Lahirnya Tim Terpadu Kehutanan dan sharing data spasial (shapefile) dari pemda untuk maju asistensi ke Bakosurtanal adalah capaian tak terlupakan. Harus dicatat dan jangan pernah dilupakan bahwa transformasi  positif kelembagaan tersebut digerakkan oleh Penataan Ruang.

BKPRN sebagai lembaga lintas sektor yang mengurusi penataan ruang mulai menemukan gairahnya dan bentuknya hingga melahirkan kesepakatan demi kesepakatan demi penyelesaian RTRW. Salah satu kesepakatan di era ini adalah RTRW tidak menetapkan garis batas administrasi, namun RTRW memastikan kesesuaian fungsi ruang antara daerah satu dan lainnya yang mengacu RTRW di atasnya.

e.    Tahun 2011: Puncak Masa Percepatan Persetujuan Substansi RTRW (90% Persetujuan Substansi RTRW Lahir di era ini)

Peperangan suci terbesar yang pernah terjadi abad ini terjadi pada tahun 2011. Semangat penataan ruang berhembus dan bergerak di segala lini, segala upaya, formal-informal, indoor-outdoor, merayu, melobby, mengawal, membina jiwa-jiwa pembela tata ruang, dan meluluhlantakkan jiwa-jiwa anti tata ruang di daerah. Tahun 2011 adalah Tahun emas yang merupakan puncak kejayaan Penataan Ruang mengingat prestasi bahwa 90% persetujuan substansi RTRW lahir di era ini.

Tahun 2011 adalah saksi ketika Tata Ruang hadir sebagai panglima bagi semua sektor. Dengan core business Persetujuan Substansi RTRW, kementerian/lembaga ikut melakukan transformasi mendukung persetujuan substansi tersebut, antara lain:
 
1.    Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) membuka asistensi pemetaan rencana tata ruang pertamakalinya dan pada tanggal  27 Desember 2011 Bakosurtanal bertransormasi menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG).

2.    Kementerian Kehutanan melalui Tim Terpadu pertamakalinya memproses semua usulan alih fungsi dan peruntukan kawasan hutan yang tercantum dalam rancangan RTRW provinsi se-Indonesia yang diajukan oleh gubernur.

3.    Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) yang merupakan badan lintas sektor bekerja paling aktif di masa ini, dengan setiap minggu melakukan rata-rata 3 (tiga) kali rapat pembahasan RTRW dalam rangka persetujuan substansi. Hadir dan aktifnya BKPRN di masa ini menghapus isu egosektor yang pernah ada.

f.      Tahun 2012, Puncak Masa Percepatan Perda RTRW (90% penetapan perda RTRW Lahir di era ini).

Pengawal tata ruang bertransformasi menjadi detektif yang sempurna, memonitor agenda para petinggi dan legislator daerah untuk menyampaikan berita gembira bahwa tinggal selangkah lagi menuju penetapan perda RTRW. Di satu sisi juga mengobrak-abrik jiwa-jiwa anti penetapan perda RTRW, memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang sesat dan gagal.

Tahun 2012 adalah lanjutan gelaran prestasi besar yang ditorehkan para pengawal  penataan ruang mengingat 90% perda RTRW lahir di era ini:

1.    91,17% penetapan RTRW Provinsi; dan

2.    90,35% penetapan RTRW Kabupaten dan RTRW kota.



g.    Tahun 2012 – 2017, Implementasi RTRW

Terdapat 4 (empat) tantangan utama yang dihadapi di era Implementasi RTRW ini, meliputi:

1.    Perlunya Contoh Implementasi Fisik dan Ekonomi sesuai dengan Rencana Tata Ruang.

Program-program stimulan, antara lain Kota Hijau, Kota Pusaka, Perdesaan Berkelanjutan, dan Pengembangan Pusat Kegiatan di Koridor Papua dilakukan pada Tahun 2013-2014 yang telah terbukti keandalan secara fisiknya, namun satu hal yang masih belum tercapai adalah Tata Ruang secara keseluruhan belum terintegrasi dengan kepastian implementasi fisik dan ekonomi di daerah.

2.    Perubahan Kebijakan/Rencana/Program (KRP) Nasional

Terdapat 2 (dua) perubahan KRP utama yang paling signifikan dalam implementasi RTRW, yaitu:

a)       Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN); dan

b)       Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembanguan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019.

Perubahan KRP nasional ini harus diantisipasi di dalam perda RTRW melalui beberapa skenario:

a)       peninjauan kembali RTRW provinsi/kabupaten/kota yang rata-rata jatuh pada Tahun 2017;

b)       revisi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang memasukkan klausul khusus untuk PSN dapat diberikan izin bilamana belum terakomodir di dalam RTRW; dan/atau

c)       peninjauan kembali Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional.

3.    Perubahan Institusi dan Kelembagaan Penataan Ruang

a)       Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria Dan Tata Ruang.

Melalui Perpres ini, Instansi Penataan Ruang berpindah dari Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum menjadi Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

b)       Peraturan Presiden Nomor 116 tahun 2016 tentang Pembubaran Badan Adhoc termasuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN).

c)       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

Berdasarkan hasil PP ini, seluruh provinsi/kabupaten/kota di Indonesia telah melahirkan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang dengan Penataan Ruang muncul sebagai bidang (Unit Eselon III) tersendiri.

4.    Kurang Lengkapnya Unsur ‘Standar’ dan ‘Kriteria’ dalam NSPK Perencanaan Tata Ruang Dan Kurang Lengkapnya NSPK serta Instrumen Pemanfaatan Ruang.

a)          Muatan Standar dan Kriteria (SK) dalam NSPK Perencanaan Tata Ruang

Muatan SK tidak dimuat sama sekali pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15,16,dan 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang tidak memuat SK secara detail dan contoh aplikasi analisis dan perhitungannya.

NSPK perencanaan tata ruang yang diharapkan adalah NSPK yang menjembatani tata ruang dengan sektor dan terukur jelas analisis perhitungannya, serta harus dapat diterpakan dengan mesin pengolah spasial, atau yang sering disebut sebagai sistem informasi geografis.

Berikut adalah contoh SK Perencanaan Kawasan Peruntukan Industri, hasil adopsi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri yang dapat dihitung dengan teknik analisis spasial ‘buffer’, overlay ‘clip dan ‘erase’ dengan perangkat lunak SIG:

SK Perencanaan Kawasan Peruntukan Industri:

1)       Kelerengan ≤15%;

2)       Jarak minimal dengan sungai 5Km;

3)       Nilai total kelerengan + jenis tanah + curah hujan ≤ 124;

4)       Jarak minimal dengan Pusat Kegiatan (PKN, PKW, PKL) 10Km;

5)       Jarak minimal dengan kawasan permukiman 2Km;

6)       Jarak minimal dari jalan nasional (Arteri Primer dan Kolektor Primer K1) 5Km; dan

7)       Berada di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.

SK serupa dapat terus diciptakan untuk kawasan lainnya untuk menjembatani nomenklatur dan kebutuhan penataan ruang dengan nomenklatur dan kebutuhan sektoral.

b)         NSPK dan Instrumen Pemanfaatan Ruang

Terdapat  3 (tiga) unsur pengaturan di setiap 1 (satu) jenis kawasan (dalam RTRW), atau subzona (dalam RDTR), meliputi:

1)       How is it planned → kriteria perencanaan

2)       How is it performed → kriteria pemanfaatan

3)       How is it controlled → kriteria pengendalian

Kebanyakan perencana dan pengawal tata ruang hanya concern pada Unsur 1) dan Unsur 3) sedangkan masyarakat umum, sektor, dan dunia usaha hanya concern pada Unsur 2). Hal tersebut menimbulkan celah antara langit perencanaan tata ruang dan bumi pemanfaatan ruang.

Kondisi ini menyebabkan pertanyaan umum:

1)       Apa implikasi ruangnya?

Sebagai contoh pada RDTR, apakah jika Zona Pertanian (PL-1.a) diizinkan terbatas budidaya perikanan (PL-1.b) dengan syarat alih fungsi maksimal 50% dari luas tanah sawah yang dimiliki masihkah punya performa sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan pemasok kebutuhan beras provinsi?.

2)       Kapan dikatakan suatu pusat kegiatan atau suatu kawasan sudah terwujud di lapangan, dan kapan dikatakan belum?

Contoh kapan suatu kota sudah jadi PKN, PKW, atau masih PKL berstatus PKN?, dan kapan kawasan perdagangan dan jasa modern dikatakan sudah terwujud, kapan belum?.

Berikut adalah perbedaan Kriteria Perencanaan dengan Kriteria Pemanfaatan Hutan Lindung:

1)       Kriteria Perencanaan Hutan Lindung adalah kawasan dengan Nilai total kelerengan, jenis tanah, dan curah hujan di atas 175. Jadi meliputi parameter kelerengan, Jenis Tanah, dan Curah Hujan.

2)       Kriteria pemanfaatan Hutan Lindung meliputi parameter diameter rata-rata pohon, ketinggian rata-rata pohon, lebar kanopi rata-rata minimal ohon, dan kerapatan rata-rata minimal antar pohon, jenis spesies tumbuhan, dan lain-lain.


II. Tahun 2017 – 2022: Masa Peninjauan Kembali RTRW dan Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi

Kesiapan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah menyongsong Puncak Masa Peninjauan Kembali RTRW dan Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi ditunjukkan dengan jawaban:

a.       Tantangan Utama Pemanfaatan Ruang (Era Implementasi RTRW)

Empat tantangan utama Implementasi RTRW sebagaimana dimaksud yang harus dijawab meliputi:

1.    Integrasi Rencana Tata Ruang dengan Kepastian Implementasi Fisik dan Ekonomi

Direktorat Pemanfaatan Ruang-Ditjen Tata Ruang-Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN sedang mengembangkan sistem informasi pemanfaatan ruang online (SIFATARU) yang di dalamnya memastikan hasil sinkronisasi RTR dengan program pembangunan diimplementasikan dalam bentuk penganggaran seluruh kementerian/lembaga.

Sistem ini masih dalam pengembangan dan memerlukan tindak lanjut berupa peran aktif pengawasan dan pengawalan implementasi fisik dari pemerintah daerah dan masyarakat.

2.    Perubahan Kebijakan/Rencana/Program (KRP) Nasional

Usaha dan/atau hasil yang telah/masih perlu dilakukan meliputi:

a)          Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2017 tentang Perubahan atas peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Muatan kunci dari PP 13 Tahun 2017 tentang Perubahan RTRW Nasional adalah proyek strategis nasional yang dimuat dalam lampiran dan penambahan Pasal 114 A sebagai berikut:


Pasal 114A

(1)     Dalam hal rencana kegiatan pemanfaatan ruang bemilai strategis nasional dan/atau berdampak besar yang belum dimuat dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota, dan/atau rencana rincinya, izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 didasarkan pada Peraturan Pemerintah ini.

(2)     Dalam pemberian izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat memberikan rekomendasi pemanfaatan ruang.

b)          Peninjauan kembali Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

c)          Kajian Integrasi Proyek Strategis Nasional dengan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota yang dikerjakan oleh Direktorat Pembinaan Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan Ruang Daerah yang telah dibahas pada Rapat Kerja Nasional BKPRN tanggal 5 November 2015 di Hotel Borobudur dan Rapat koordinasi Kementerian Agaria dan Tata Ruang/BPN tanggal 12 Januari 2016 di Palembang.

3.    Perubahan Institusi dan Kelembagaan Penataan Ruang di Pusat dan daerah

Usaha dan/atau hasil yang telah/masih perlu dilakukan meliputi:

a)       Perlunya pembekalan terhadap unit kerja baru Bidang Penataan Ruang, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang di provinsi/kabupaten/kota.

Di Daerah, Bidang Penataan Ruang berada di dalam naungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, dengan alasan:

·      Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang adalah satu kesatuan urusan wajib konkuren sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

·      Penataan Ruang adalah sebuah siklus mulai Perencanaan-Pemanfaatan-Pengendalian-Peninjauan Kembali yang semua komponennya harus dilakukan sama kuatnya, sehingga letak unit kerjanya di Bappeda dianggap hanya fokus pada perencanaan makro saja, sementara pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya terabaikan.

·      Unsur Utama Struktur Ruang, berupa jaringan prasarana utama diselenggarakan dan dibangun oleh Dinas Pekerjaan Umum, sehingga kepastian implementasi RTRW jadi lebih terjamin dan terukur.

b)       Kelembagaan Tata Ruang di Pusat pasca BKPRN

Draft Rapermen tentang Tim Koordinasi Penataan Ruang Nasional (TKPRN) telah dibahas bersama dengan Sekretariat Kabinet pada tanggal 18 April 2017 di Swiss-Belhotel Kemang, Jakarta.

c)       Integrasi agraria dan tata ruang

Masih perlunya integrasi agraria dan tata ruang, antara lain melalui:

1)       Penyusunan RTRW dan RDTR ke depan harus memasukkan dan menganalisis data neraca penggunaan tanah dan peta bidang tanah;

2)       Sistem informasi tata ruang dan pertanahan; dan/atau

3)       Restrukturisasi organisasi.

4.    Kurang lengkapnya unsur ‘standar’ dan ‘kriteria’ dalam NSPK Bidang Penataan Ruang dan kurang lengkapnya NSPK serta instrumen pemanfaatan ruang.

Saat ini sedang dilakukan pembahasan revisi:

a)       Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota (Permen PU Nomor 15, 16, dan 17 Tahun 2009)

Rancangan pedoman ini menambahkan unsur standar dan kriteria, serta contoh cara menyusun fakta dan analisis RTRW yang berkualitas.

b)       Pedoman Persetujuan Substansi (Permen PU nomor 11 Tahun 2009)

Rancangan pedoman ini menambahkan penanggungjawab di setiap tahapan, durasi setiap tahapan, dan masa berlaku surat persetujuan substansi; dan

c)       Untuk mengantisipasi kurang lengkapnya NSPK serta instrumen pemanfaatan ruang, di Direktorat Jenderal Tata Ruang telah dibentuk Direktorat Pemanfaatan Ruang, di dalamnya terdapat Subdirektorat Pedoman Pemanfaatan Ruang. Saat ini tengah menggarap beragam pedoman pemanfaatan ruang, diantaranya Pedoman Penjaminan Kualitas Rencana Tata Ruang, yang dulu diinisiasi oleh Direktorat Pembinaan Penataan Ruang Daerah Wilayah II-Ditjen Penataan Ruang-Kementerian Pekerjaan Umum.

b.       Tantangan Perencanaan Tata Ruang masa kini.

1.    Asistensi Peta Rencana Tata Ruang di Badan Informasi Geospasial

Asistensi meliputi 5 (lima Tahapan):

·         Asistensi akurasi sumber data (citra input);

·         Asistensi Peta Dasar (harus dilakukan survey ground control point dan independent check point oleh daerah untuk peta skala 1:5.000);

·         Asistensi Peta Tematik;

·         Asistensi Peta Rencana; dan

·         Asistensi layout peta dan manajemen data folder.

2.    Pembahasan RTRW Kabupaten dan rencana rincinya di Kementerian Dalam Negeri sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2017 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah.

Berbeda dengan Permendagri Nomor 28 tahun 2008 yang hanya RTRW Provinsi yang dibahas di Kementerian Dalam Negeri, Permendagri Nomor 13 Tahun 2016 juga mengharuskan evaluasi RTRW kabupaten dan rencana rincinya juga dibahas di Kementerian Dalam Negeri.

3.    Validasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Badan Lingkungan Hidup Provinsi atau di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai PP Nomor 6 Tahun 206 tentang Tatacara Penyelenggaraan KLHS.

KLHS harus dinyatakan valid oleh Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan sebelum diintegrasikan ke dalam muatan RTRW.

4.    Pola baru Persetujuan Substansi RTRW dan rencana rincinya.

Permen Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pemberian Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang yang merupakan revisi Permen PU Nomor 11 Tahun 2009 telah lahir dengan prinsip membagi proses pembinaan sebagai ‘sekolah’ dan persetujuan substansi sebagai ‘ujian’nya. Permen ini khusus mengatur ‘ujian’nya.

Rancangan pedoman persetujuan substansi yang baru juga menambahkan penanggungjawab di setiap tahapan, memuat durasi setiap tahapan, dan batas maksimal masa berlaku surat persetujuan substansi hingga penetapan perda [yperdana, Juni 2017].







No comments:

Post a Comment